Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahagia Itu Sering Dilebih-Lebihkan

13 Januari 2023   09:16 Diperbarui: 13 Januari 2023   09:21 1199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Cahyadi Takariawan

Menjalani kehidupan terbaik tidak berarti Anda harus 100% bahagia di sepanjang waktu. Gagasan bahwa kita harus selalu bahagia, adalah mitos. Menjadi manusia seutuhnya, berarti bisa dan bersedia merasakan berbagai macam emosi dalam jiwa.
Dengan menekan perasaan serta tidak membiarkan diri kita mengalami semua perasaan --karena hanya ingin merasakan bahagia, sebenarnya justru menghadirkan lebih banyak rasa sakit pada diri sendiri. Lebih menyiksa dan melukai diri sendiri. Bahkan tidak adil terhadap diri sendiri.


Itulah mengapa banyak ahli menyebut "happiness is overrated", kebahagiaan itu dilebih-lebihkan. Misalnya Raymond Angelo Bellioti, ia menulis buku Happiness is Overrated (2004).

Demikian pula Melisa Parks, PhD. Ia menyarankan agar kita tidak fokus mengejar kebahagiaan. Hendaknya kita mengejar kehidupan yang penuh makna. Kehidupan yang memberikan makna bagi diri sendiri, keluarga, lingkungan sekitar, masyarakat, bangsa dan negara.

Ini yang disebut oleh Martin Seligman sebagai "meaningful life". Bukan sekedar "pleasant life", juga bukan hanya "good life". Namun sebuah kehidupan yang penuh makna. Sebuah kehadiran yang dirasakan dan diterima.

Kita tidak terobsesi untuk selalu bahagia. Namun selalu bermakna. Dalam kebermaknaan itu terkadang ada sakit dan duka, ada derita dan airmata. Namun dengan merasakan berbagai pengalaman spiritual itu, kepuasan hidup justru akan semakin bisa didapatkan. Bukankah ini akan sangat membahagiakan?

Jika manusia berfokus mengejar kebahagiaan, dan menolak untuk merasakan perasaan 'negatif' dalam dirinya, mungkin terasa menyenangkan dalam jangka pendek. Tetapi bisa jadi mereka telah menyabotase masa depan, dengan tidak terlibat dalam aktivitas yang dianggap beresiko menghadirkan ketidakbahagiaan.

Akan lebih membahagiakan apabila kita menyiapkan diri untuk menerima dan menghadapi berbagai macam kondisi yang mungkin terjadi dalam kehidupan. Bukankah sesuatu yang kita sukai kadang-kadang buruk bagi kita; dan sesuatu yang kita benci kadang-kadang justru terbaik bagi kita?

"Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui" (QS. Al-Baqarah: 216).
Selamat pagi sahabatku semuanya.

Bahan Bacaan
Melisa Parks, PhD., Why Happiness is Overrated? https://www.intentionalexpat.com, diakses 13 Januari 2023.
Raymond Angelo Bellioti, Happiness is Overrated, Rowman & Littlefield Publishers Inc, USA, 2004

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun