Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengawali, Menjalani dan Mengakhiri Pernikahan dengan Benar

9 Desember 2018   16:22 Diperbarui: 9 Desember 2018   16:28 1437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wildsecretsafaris.com

Menikah itu bukan sekedar aku suka sama kamu dan kamu suka sama aku. Bukan sekedar aku cinta sama kamu dan kamu cinta sama aku. Bukan sekedar aku mau sama kamu dan kamu mau sama aku. Bukan sekedar kamu cantik dan aku gak ganteng. Namun apakah aku dan kamu bisa bersinergi untuk menunaikan hak dan kewajiban dalam kehidupan pernikahan.

Apakah aku dan kamu bisa bersinergi untuk menghadirkan kebersamaan dalam suka dan duka selamanya. Apakah aku dan kamu bisa bersinergi untuk menunaikan tugas-tugas peradaban dalam keluarga yang akan kita bangun bersama. Apakah aku dan kamu bisa bersinergi untuk bersama-sama menggapai surga-Nya. Apakah aku dan kamu bisa mengawali, menjalani dan mengakhiri kehidupan keluarga dalam bimbingan Allah Ta'ala.

---- Cahyadi Takariawan, 2018 -----

**********

Pernikahan ---sebagaimana aktivitas hidup 'penting' lainnya--- tidak berada pada ruang hampa. Selalu ada pondasi nilai yang menjadi landasan berpijak. Ini yang membedakan orang beriman dengan yang tidak beriman. Bagi orang beriman, untuk makan dan minum pun ada tuntunannya. Seperti apa berpakaian, bepergian, tidur, bekerja, berbisnis, berkesinia, berpolitik, bermasyarakat, bernegara, semua ada tata nilai yang menjadi landasan berpijak. Tidak bebas nilai, tidak semua gue.

Mengawali dengan Benar

Bagi ummat Islam, pernikahan diawali dari arahan Al Qur'an dan Sunnah Nabi Saw, yang memberikan tuntunan sekaligus contoh pelaksanaan pernikahan dan kehidupan berumah tangga setelah menikah. Sangat banyak ayat dalam Al QUr'an yang memberikan isyarat tentang pernikahan. Misalnya, isyarat dalam Al Qur'an tentang proses penciptaan yang berpasang-pasangan:

"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah" (QS. Adz- Dzariyat : 49).

"Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan" (QS. Al Qiyamah : 39).

Dalam surat An Nisa' dinyatakan isyarat tentang penciptaan manusia beserta pasangannya, yang dengan itu Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan:

"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu" (QS. An Nisa' : 1).

Ada pula perintah Allah bagi orang yang belum atau tidak mampu menikah, agar menjaga kesucian diri mereka:

"Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya" (QS. An Nuur: 33).

Allah memerintahkan agar menikahi perempuan yang disukai:

"Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga atau empat..." (QS. An Nisa': 3).

Ada pula perintah untuk menikahkan orang yang sendirian:

"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui" (QS. An Nuur: 32).

Al Qur'an juga mengungkapkan bahwa para Rasul utusan Allah, mereka juga menikah dan memiliki anak keturunan:

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan..." (Ar Ra'du : 38).

Allah menyebut akad nikah sebagai perjanjian yang kuat atau mitsaqan ghalizha:

"...Sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat" (QS. An Nur: 21).

Demikian pula arahan dalam banyak hadits Nabi Saw tentang pernikahan. Cukuplah saya nukilkan satu sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:

"Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki kemampuan (baa-ah), maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya." (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400).

Itu semua adalah pondasi yang kuat untuk memulai kehidupan pernikahan. Bahwa menikah karena melaksanakan arahan Allah dan contoh dari Rasulullah Saw. Tidak semata-mata karena dorongan instinktif. Tidak memulai dengan dorongan syahwat. Namun memulai kehidupan pernikahan dengan benar, yaitu sesuai arahan Allah dan Rasul.

Menjalani Dengan Benar

Kehidupan setelah menikah harus dijalani sesuai arahan Allah di dalam Al Qur'an dan arahan Nabi Saw dalam hadits beliau. Semua titik interaksi dan komunikasi dalam kehidupan pernikahan, hendaknya selalu berada dalam koridor yang benar, misalnya bagaimana menjalankan hak dan kewajiban sebagai pasangan suami istri, bagaimana konsep kepemimpinan, ketaatan, musyawarah, mu'asyarah bil ma'ruf, wasiat, waris, dan lain sebagainya.

Dalam kaitan interaksi antara suami dan istri, Islam telah memberikan pondasi yang kokoh agar suami dan istri selalu berusaha untuk membangun kehidupan yang harmonis serta bahagia. Allah berfirman di dalam surat An Nisa' ayat ke 19:

"Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak".

Ayat di atas terkait dengan kebiasaan sebahagian masyarakat Arab Jahiliyah. Pada masa itu, apabila seorang lelaki meninggal dunia, maka anak tertua atau anggota keluarga yang lain berhak mewarisi jandanya. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.

Dalam kitab tafsirnya Al-Qurtubi menjelaskan, maksud ayat ini adalah menghilangkan adat kebiasaan jahiliyah dan bahwa wanita tidak boleh dijadikan seperti harta yang dapat diwarisi dari suaminya. Sedangkan Ibnu katsir menjelaskan, ayat ini mencakup berbagai kebiasaan masyarakat jahiliyah tersebut. Allah Ta'ala mengarahkan pembicaraan kepada para suami yang berlaku jelek, kasar atau zhalim terhadap istrinya. Maksudnya : seseorang memiliki istri yang ia tidak sukai padahal sudah diberikan mahar, lalu ia susahkan wanita itu agar mau menebus dirinya dengan mahar tersebut. Demikian dikatakan Adh-Dhahak dan Qatadah serta Ibnu jarir.

Allah memerintahkan para suami untuk bergaul secara baik dan patut dengan istri (mu'asyarah bil ma'ruf). Kata al-ma'ruf artinya segala sesuatu yang dimaklumi atau dikenali kepatutan, kebaikan atau kebenarannya, menurut aturan Allah dan Rasul-Nya, maupun ukuran kemanusiaan dan masyarakat pada umumnya. Para ulama memahami kalimat "wa 'asyiruhunna bi ma'ruf" sebagai perintah untuk berbuat baik kepada istri yang dicintai ataupun tidak dicintai. Kata ma'ruf mencakup tidak mengganggu, tidak menyakiti, tidak memaksa, tidak berlaku kasar, dan selalu berbuat baik kepada istri.

Dalam kitab tafsirnya Ibnu Katsir menjelaskan, "Baguskanlah perkataan kalian kepada istri kalian, perbaikilah tingkah laku dan penampilan kalian sebatas kemampuan kalian. Sebagaimana kalian senang istri kalian berlaku seperti itu, maka berlakulah seperti itu pula. Hal ini sesuai dengan firman-Nya : "Bagi istri berhak mendapat kebaikan seperti kewajibannya" dan sabda Nabi : Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap istrinya. Dan akulah yang terbaik terhadap istri".

Untuk mengetahui contoh praktis mu'asyarah bil ma'ruf, telah ada keteladanan dalam kehidupan keluarga Nabi Saw dengan para istri beliau. Silakan simak kembali di sini.

Mengakhiri Dengan Benar

Seorang teman bertanya kepada saya, "Apakah kita akan mengakhiri keluarga?" Jawaban saya, yess. Semua keluarga akan berakhir. Menurut teori Duvall dan Miller, keluarga akan melewati delapan tahap, dan setelah itu berakhir, yaitu ketika suami dan istri sudah meninggal keduanya. Berakhirlah perjalanan satu keluarga di dunia. Namun akan melalui kehidupan berikutnya di akhirat yang kekal abadi. Nah, inilah "akhir" itu. Yaitu akhirat.

Dan kehidupan pernikahan kita akhiri dalam naungan Al Qur'an, yaitu akhir yang baik. Husnul khatimah. Hidup bahagia di surga bersama keluarga. Inilah akhir yang indah sebagaimana arahan Al Qur'an:

"Dan orang-orang beriman, berserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan. Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga) dan kami tidak mengurangi sedkitpun pahala amal (kebajikan) mereka" (QS. Ath Thur: 21).

Demikian pula firman Allah yang menceritakan doa malaikat pemikul 'Arsy, "Ya Rabb kami masukanlah mereka ke dalam surga 'Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang shalih diantara nenek moyang mereka, istri-istri dan anak keturunan mereka. Sungguh Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS. Ghafir: 8).

Juga firman Allah Ta'ala, "(yaitu) surga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu" (QS. Ar Ra'du : 23).

Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya memberikan penjelasan, Allah Ta'ala akan mengumpulkan mereka berserta anak keturunannya agar menyejukkan pandangan mereka karena berkumpul pada satu kedudukan yang berdekatan. Artinya, akan Kami samakan mereka pada satu kedudukan agar mereka merasa tenang. Bukan dengan mengurangi kedudukan mereka yang lebih tinggi, sehingga bisa setara dengan mereka yang rendah kedudukannya, namun dengan Kami angkat derajat orang yang amalnya kurang, sehingga Kami samakan dia dengan derajat orang yang banyak amalnya. Sebagai bentuk karunia dan kenikmatan yang Kami berikan.

Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir dinukilkan satu riwayat dari Said bin Jubair: Tatkala seorang mukmin memasuki surga maka ia akan menanyakan tentang bapaknya, anak-anaknya dan saudara-saudaranya dimanakah mereka? Maka dikatakan kepadanya bahwa mereka semua tidak sampai pada derajatmu di surga. Maka orang mukmin tersebut menjawab : Sesungguhnya pahala amal kebaikanku ini untukku dan untuk mereka.' Maka mereka (keluarganya) dipertemukan pada satu kedudukan dengannya.

Menurut Ibnu Katsir, Allah menghimpunkan mereka bersama kekasih-kekasih mereka di dalam surga, yaitu bapak-bapak mereka, keluarga mereka, dan anak-anak mereka yang layak untuk masuk surga dari kalangan kaum mukmin, agar hati mereka senang. Sehingga dalam hal ini Allah mengangkat derajat orang yang berkedudukan rendah ke tingkat kedudukan yang tinggi sebagai anugerah dari-Nya dan kebajikan-Nya, tanpa mengurangi derajat ketinggian seseorang dari kedudukannya.

Kita mengawali keluarga dengan benar, kita menjalani kehidupan keluarga dengan benar, dan kita mengakhiri keluarga dengan benar. Inilah akhir itu, yaitu surga Allah di akhirat kelak. Sangat berharap, kita semua kelak tetap bersatu dengan keluarga di surga. Tidak tercerai beraikan. Tetap bahagia hingga di surga.

Bahan Bacaan :

Abu Al-Hameed Rabe', Bait Al Muslim Al Qudwah : Membumikan Harapan Keluarga Islam Idaman, Penerbit : LK3I, Jakarta, 2011.

Cahyadi Takariawan, Wonderful Marriage, Era Adicitra Intermedia, Solo, 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun