Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keluarga Sakinah Menyelesaikan Konflik dengan Mudah

25 Februari 2018   21:23 Diperbarui: 4 Mei 2020   22:03 2820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : www.pinterest.com

Perbedaan antara keluarga sakinah dengan keluarga yang tidak sakinah, bukan terletak pada ada dan tidak adanya konflik. Karena konflik akan selalu ada dalam semua keluarga, bahkan dalam semua corak interaksi antar manusia. Pada dasarnya, konflik adalah konsekuensi dari adanya interaksi, sekaligus bukti bahwa manusia diberikan akal dan nafsu yang membuat mereka memiliki cara berpikir, pendapat dan keinginan yang tidak selalu sama.

Maka dalam keluarga sakinah juga terdapat konflik. Keluarga sakinah bukanlah keluarga yang tidak pernah ada pertengkaran, perbedaan, masalah, dan konflik. Jika demikian, lalu apa perbedaan keluarga sakinah dengan keluarga yang tidak sakinah? Di antara hal yang membedakan adalah cara mereka menghadapi dan menyelesaikan konflik ataupun masalah. Dalam keluarga sakinah, mereka terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Maka mereka menyelesaikan setiap masalah dengan mudah.

Sedangkan keluarga yang tidak sakinah, sangat sulit menyelesaikan setiap konflik dan masalah. Persoalan kecil dan sederhana membuat mereka menjadi bertengkar hebat, saling marah, saling benci, saling mencaci, saling menjauhi dan akhirnya semakin sulit pula menemukan solusi. Tidak jarang mereka menempuh jalan pintas dengan memilih bercerai untuk mengakhiri konflik yang sering datang dan tak mampu mereka atasi. Kondisi ini sangat berbeda dengan mereka yang memiliki keluarga sakinah mawadah warahmah.

Bahkan, Pada Keluarga Nabi Saw Pun Ada Konflik

Konflik dalam kehidupan berumah tangga bukan hanya ada zaman kita, bukan hanya terjadi pada keluarga biasa saja. Karena konflik benar-benar bagian dari sifat manusia. Bahwa konflik adalah sifat umum manusia, bisa kita lihat pada rumah tangga Nabi Saw beserta para istri beliau. Dalam sebuah episode kehidupan beliau dengan A'isyah, juga pernah dilanda konflik. Namun lihatlah bagaimana beliau Saw keluar dari konflik dengan mudah dan penuh kehormatan.

Sebuah riwayat yang ditulis oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab ihya' Ulumiddin, bahwa 'Aisyah menuntut keadilan kepada Nabi Saw. Lalu Rasulullah Saw mengusulkan "Bagaimana pendapatmu, jika Abu Bakar yang melakukan?" Aisyah menjawab, "Aku setuju. Panggillah beliau untuk datang." Setelah Abu Bakar datang, Rasulullah berkata kepada Abu Bakar, "Kami telah memanggilmu untuk mengadili kami berdua." Rasulullah melirik ke arah 'Aisyah dan berkata, "Engkau atau aku yang berbicara?" 'Aisyah menjawab, "Bicaralah dan jangan engkau berkata kecuali hal yang benar".


Mendengar itu, Abu Bakar menampar 'Aisyah hingga mulutnya berdarah sambil memperingatkan, "Apakah beliau Saw pernah berbohong, wahai orang yang menyakiti dirinya sendiri?" 'Aisyah langsung mendekati Rasulullah lalu duduk di belakangnya. Kemudian Nabi berkata kepada Abu Bakar, "Kami tidak memintamu untuk ini (menampar) dan kami tidak memintamu untuk ini (memarahi)." Al-Ghazali memuat hadits dalam kitab Ihya’ Ulumiddin juz 2 hal 43. Al-Iraqi saat mentakhrij hadits Ihya tersebut dalam kitab Al-Mughni ‘an Hamlil Asfar hal 481, mengatakan: diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Awsath dan Al-Khatib dalam At-Tarikh dari hadits Aisyah, dengan sanad dha’if.

Dari contoh kejadian tersebut, ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita ambil dari keteladanan Nabi Saw dalam menyelesaikan konflik rumah tangga.

1.Selalu mengedepankan akhlak mulia

Nabi Saw tidak pernah melakukan tindakan yang tidak terpuji. Sungguh akhlak beliau telah dipuji oleh Allah Ta'ala sebagai "khuluqin azhim" atau akhlaq yang agung. Dengan keagungan akhlaq inilah Nabi Saw berinteraksi dengan semua manusia, termasuk dengan keluarga beliau.

Ketika memberikan pengarahan kepada para suami, Rasulullah Saw bersabda, "Kamu harus memberi makan kepadanya sesuai yang kamu makan, kamu harus memberi pakaian kepadanya sesuai kemampuanmu memberi pakaian, jangan memukul wajah, jangan kamu menjelekannya, dan jangan kamu melakukan boikot kecuali di rumah" (HR. Ahmad 20011, Abu Daud 2142 dan dishahihkan Al-Albani).

Dari arahan beliau tersebut, tampaklah akhlak yang sangat mulia dalam berinteraksi suami istri. Di antaranya, Nabi Saw bersabda, "jangan kamu menjelekannya". Dalam Syarah Sunan Abu Daud dinyatakan, "Jangan kamu ucapkan kalimat yang menjelekkan dia, jangan mencacinya, dan jangan mendoakan keburukan untuknya." Ini adalah akhlak yang sangat mulia dalam berkonflik.

2.Memahami dan menghormati perasaan pasangan

Nabi Saw tidak menyalah-nyalahkan atau menuduh Aisyah, beliau Saw tetap husnuzhan dengan Aisyah. Jika beliau mau, bisa saja beliau ---sebagai Nabi Allah--- langsung memutuskan sesuatu; dan pasti A'isyah pun akan mengikuti keputusan tersebut. Namun hal itu tidak beliau lakukan, justru beliau meminta pertimbangan kepada Aisyah, "Bagaimana pendapatmu, jika Abu Bakar yang melakukan?"

Ini adalah bentuk pengertian dan penghormatan beliau terhadap A'isyah. Mungkin saja ada sesuatu dalam diri A'isyah yang ingin disampaikan namun tidak nyaman atau sungkan, bisa jadi akan lebih nyaman apabila melalui Abu Bakar, sang ayah. Ini adalah sebuah bentuk pengertian dan penghormatan yang luar biasa.

3.Selalu mendahulukan pasangan

Mari perhatikan penggal berikut ini. Setelah Abu Bakar datang, Rasulullah berkata kepada Abu Bakar, "Kami telah memanggilmu untuk mengadili kami berdua." Rasulullah melirik ke arah 'Aisyah dan berkata, "Engkau atau aku yang berbicara?" 'Aisyah menjawab, "Bicaralah dan jangan engkau berkata kecuali hal yang benar".

Baik Nabi Saw maupun A'isyah, keduanya telah bersikap mendahulukan pasangan. Nabi meminta pendapat Aisyah, "Engkau atau aku yang berbicara?" Dan Aisyah menyerahkan kepada Nabi Saw, "Bicaralah dan jangan engkau berkata kecuali hal yang benar". Betapa mulia akhlak beliau berdua. Dalam situasi konflik, tetap mendahlukan dan memuliakan pasangan. Alangkah indahnya jika pasangan suami istri berbicara secara bergantian, dengan mempersilakan pasangannya untuk memulai.

4.Menghadirkan mediator yang dipercaya kedua belah pihak

Kehadiran Abu Bakar adalah untuk memediasi urusan Nabi Saw dengan Aisyah. Sosok Abu Bakar adalah orang yang dipercaya oleh kedua belah pihak. Nabi Saw sangat percaya kepada Abu Bakar, sementara Aisyah adalah anak Abu Bakar. Keduanya memiliki kedekatan dengan Abu Bakar, hal ini lebih menjamin Abu Bakar akan bersikap adil karena tidak hanya dekat dengan salah satu dari keduanya.

Hal ini menjadi pelajaran penting bagi kita, apabila konflik suami istri sudah tidak bisa diselesaikan dengan nyaman oleh mereka berdua, bisa melibatkan pihak ketiga sebagai mediator untuk membantu mencari solusi. Mediator ini haruslah orang yang dipercaya kebaikan dan kompetensinya untuk menyelesaikan masalah, sekaligus dipercaya oleh kedua belah pihak. Jangan sampai mediator justru menambah rumit dan peliknya masalah.

5.Menghindari tindak kekerasan fisik maupun psikis

Perkataan Nabi Saw kepada Abu Bakar, "Kami tidak memintamu untuk ini (menampar) dan kami tidak memintamu untuk ini (memarahi)," menunjukkan sikap Nabi Saw yang tidak ingin melakukan dan melihat tindak kekerasan fisik dan kekerasan psikis terhadap istri beliau. Beliau sendiri tidak pernah menggunakan kekerasan fisik maupun psikis dalam berinteraksi dengan istri, maka beliau juga tidak menghendaki orang lain melakukan kekerasan itu terhadap istri beliau.

Pelajaran penting bagi kita semua, dalam kondisi emosi, marah atau konflik sehebat apapun, hindarilah melakukan tindakan kekerasan fisik terhadap pasangan. Kekerasan fisik bisa menyebabkan cedera, bahkan cacat permanen dan sampai bisa merenggut nyawa orang yang seharusnya dicintai, dikasihi dan dilindungi. Pasangan suami istri harus saring melindungi satu dengan yang lain, kendati tengah ada masalah dan konflik di antara mereka berdua.

Tetaplah berusaha menyelesaikan masalah dengan cara bijak dan dewasa, sebagai sesama insan beriman, sebagai sepasang kekasih yang saling mencintai dan menyayangi.

Bahan Bacaan

Cahyadi Takariawan, Wonderful Couple, Era Adicitra Intermedia, Solo, 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun