Mohon tunggu...
Anak Tansi
Anak Tansi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Sampai Kapan Petani Sawit Mandiri Jadi Anak Tiri di Negeri Sendiri?

7 Januari 2020   00:18 Diperbarui: 7 Januari 2020   00:30 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Kenaikan harga jual kelapa sawit (crued palm oil) di bursa komoditas dunia tak serta merta membawa tambahan keuntungan untuk petani perorangan.   Mereka  kurang memiliki daya tawar lebih untuk bisa mendapatkan harga jual  terbaik dari Tandan Buah Segar (TBS) sawit  produksi kebun  yang dimiliki.

Tak seperti sawit  keluaran kebun milik korporasi swasta atau perkebunan milik pemerintah, alias BUMN (Badan Usaha Milik Negara), yang jumlahnya sangat massiv. Kedua entitas tersebut sedikit punya daya tawar lebih, karena resource yang dikuasai.  Sementara  petani sawit perorangan hanya bisa melihat  harga pasar menjadi sekedar acuan, dan  untuk harga penjualan, mereka tak  punya daya tawar memadai.

Praktik tersebut sudah berjalan puluhann tahun, saat hasil kebun sawit petani perorangan mulai memberi hasil.   Itu bisa terjadi karena beberapa hal. salah satunya adalah karena, tak adanya model perlindungan harga  petani terhadap   gejolak pasar sebagaimana yang diatur dalam UU no. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan Pemberdayaan Petani.

Karena petani perorangan perkebunan sawit tidak memiliki payung hukum sejenis, praktis hingga saat ini harga TBS mereka sepenuhnya tergantung kepada hukum pasar.  Akibatnya mereka hanya bisa ikut kepada patokan yang ditetapkan oleh pedagang pengumpul atau tengkulak yang datanya hingga kini tak dimiliki pemerintah.

Padahal, sebelum bermimpi untuk lahirnya UU yang melindungi petani sawit perorangan tersebut, pemerintah semestinya sudah bisa lebih memberi perlindungan, dengan mendata jumlah tengkulak, sehingga dari sana, pantauan harga beli TBS dari tengkulak kepada petani bisa diawasi.

Saat ini  berdasarkan data Aprobi (Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia),   dari total 14,7 juta lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia, 41 persen dikelola oleh petani perorangan dengan jumlah tidak kurang dari 5,8 juta orang.

Total 41 persen lahan itu setara dengan 4,7  juta hektar kebun  yang dikelola secara mandiri dimana tidak kurang juga dari 12 juta orang menggantungkan hidup kepada komoditas ini. Dari lahan seluas 4,7 juta hektar itu, mereka menyumbang sebanyak 18 juta ton kelapa sawit dari total 43 juta ton produksi sawit Indonesia secara keseluruhan.

Jumlah tersebut bukan angka kecil dan alias cukup significant untuk menyangga  pasokan sawit baik untuk dalam negeri maupun  ekspor. Namun itu  tersebut tak serta merta mendorong pemerintah memberi perlindungan secara aturan atau Undang-Undang.

Saat ini, upaya pemerintah untuk memperkuat keberadaan para petani swadaya ini baru  sampai  pada tahap program replanting alias Peremajaan Sawit Rakyat atau PSR. Dimana, pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit menyediakan dana  untuk PSR  itu  sebesar Rp25 juta/ha, yang salah satu tujuannya adalah  untuk meningkatkan produktifitas hasil kebun mereka.

Namun hal tersebut tentu tidak cukup, alias belum menyentuh pokok masalah yakni memberdayakan secara keseluruhan, yang itu tak cukup sekedar pemberian bantuan Cuma.

Pemerintah semestinya mulai mempertimbangkan pembentukan lembaga khusus atau Kementerian, atau lembaga khusus yang langsung dibawah presiden guna menjangkau seluruh aspek tentang salah satu ujung tombak industri ini.

Kesan penganaktirian itu kian terlihat jika dibandingkan dengan urusan lingkungan lain, seperti lahan gambut.   Untuk mengelola lahan yang jumlahnya Cuma 2 juta hektar tersebut pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut. Bandingkan dengan lahan kelapa sawit yang milik petani saja, hingga saat ini tak memiliki induk tunggal yang bertugas menangani masalah yang ada secara mandiri.

Yang lebih ironis, di sejumlah pemerintahan daerah yang total lahan perkebunan kelapa sawit mereka mencapai belasan juta hektar, bidang yang menangani kelapa sawit ini hanya dipegang oleh pejabat setara   Kepala Sub Bidang (Kasub).  Jangankan  bidang yang khusus mengurus sawit, sebagian besar pemerintah daerah  tak lagi punya Dinas Perkebunan, yang sebagian disatukan dengan dinas peternakan

Diharapkan, dengan pembentukan lembaga khusus tersebut, ragam masalah yang mendera kelapa sawit Indonesia khususnya di kalangan petani perorangan bisa lebih dipahami secara lebih jernih. 

Persoalan seperti status lahan,  penentuan harga, hingga pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) petani sawit yang diketahui memang masih rendah, bisa terpetakan, sukur-sukur bisa diatasi secara holistic. Tujuan akhir dari semua itu adalah peningkatan taraf hidup dan ekonomi mereka

Karena suka atau tidak, pemberdayaan petani dan peningkatan daya tawar akan berpengaruh langsung langsung kepada perbaikan taraf hidup, ekonomi serta pendidikan anak-anak mereka. 

Poin-poin tersebut yang secara langsung akan mempengaruhi target Indonesia dalam program Sustainable Development Goals (SDGs) yang menjadi kampanye besar PBB untuk 10 tahun ke depan.

Jadi masih mau menjadikan petani perorangan hanya sekedar pelengkap kejayaan sawit Indonesia ?. Sementara kemakmuran menyusul prediksi cerah terhadap program B30  akan lebih  banyak  dinikmati BUMN dan korporasi swasta ?.

Kita percaya, tentu pemerintahan presiden Joko Widodo tidak punya rencana kearah demikian.

Semoga.....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun