Fenomena minta-minta ala masjid adalah salah satu contohnya. Contoh lain? Ada banyak lho. Misalnya sengaja datang ke rumah orang kaya dan pejabat dengan harapan mereka mau menyumbang besar untuk kegiatan yang berlabel sosial.
Lha, memangnya salah? Kegiatan sosialnya tidak salah, tapi menurutku persepsi dan niat "ngemis" tadi yang keliru. Toh, masih ada cara yang lebih elegan, kan? Yang jelas, kalau orang beri, ya kita terima.
Aku pikir, pada momentum hari raya saat ini kisahnya juga demikian.
Memang benar, menebar "hasutan" kepada anak agar meminta THR kepada sanak/saudara yang sudah berpenghasilan itu kelihatannya sederhana, jumlah THR-nya pun sederhana pula. Tapi, kurang elegan jika caranya mirip dengan "pengemis".
Faktanya, biarpun anak kita tidak meminta, sanak/saudara yang datang maupun kita kunjungi senantiasa sudah menyiapkan THR. Jangankan yang datang maupun yang kita kunjungi, bahkan sanak yang jauh di sana saja masih menyempatkan berkirim THR via rekening maupun pulsa.
Syahdan, bolehkah memberikan THR kepada anak saat hari raya Idul Fitri? Tentu saja boleh. Bahkan setiap hari pun boleh. Ya, yang namanya THR itu hadiah, kan?
Dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah (26/247) yang diketuai oleh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, tidak mengapa memberikan hadiah pada dua hari raya berupa uang-uang kecil (salam tempel).
Bahkan, kegiatan tersebut dianggap adat kebiasaan yang bagus, menanamkan kebahagiaan kepada kaum muslimin, baik kepada orang dewasa ataupun anak-anak adalah perkara yang dicintai syariat yang suci ini.
Nah, berarti memberikan THR kepada anak di hari raya merupakan salah satu perbuatan yang positif, bukan?
Ya, kapan lagi kita bisa menyenangkan anak-anak kita sendiri maupun anak-anak dari sanak/saudara kita.
Ketika mobil rewel saja kita sampai bingung minta uang kepada istri seraya buru-buru mencari bengkel terbaik.