Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Sesekali Guru Juga Perlu Bersikap "Bodo Amat"!

14 Desember 2020   23:29 Diperbarui: 15 Desember 2020   00:27 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi "Bodo Amat". Gambar oleh Pezibear dari Pixabay 

Agaknya, di situasi seperti inilah sesekali seorang guru perlu meluruskan hati dan dirinya, yaitu dengan cara bersikap "bodo amat".

Sesekali Guru Juga Perlu Bersikap "Bodo Amat"

Bukankah kepedulian terhadap sekolah itu sangat berharga?

Bukankan kepedulian terhadap amanah profesi itu sangat berharga?

Barangkali kita setuju sepenuhnya dengan ungkapan Mark Manson selaku penggores kata dalam buku "Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat" yang mengatakan bahwa kepedulian terhadap sesuatu yang berharga adalah syarat munculnya kedewasaan. Tetapi, bagi guru?

Rasanya bukan hanya kedewasaan diri secara pribadi yang dituju, melainkan juga kedewasaan terhadap profesi. Kedewasaan agar kepedulian seorang guru tetap teguh serta tidak tergerus oleh rasa iri.

Di luar sana, memang banyak guru yang mengaku peduli dengan dirinya, profesinya, hingga eksistensi sekolah tempat mengajarnya. Tetapi, sejauh mana kepedulian itu tetap teguh, adalah pernyataan yang sulit untuk kita jawab.

Apakah kepedulian seorang guru akan runtuh gara-gara gaji sertifikasi telat, gara-gara mendengar wacana sistem gaji anak dirombak, gara-gara dipandang oleh rekan kerja "terlalu" rajin, jawabannya dikembalikan lagi kepada pribadi guru yang dimaksud.

Ketika kepedulian yang selama ini diwujudkan oleh guru adalah untuk memajukan sekolahnya, ketika itu pula sikap "bodo amat" sesekali perlu dilakukan. Alasan melakukannya mungkin cukup sederhana:

"Ketika kita peduli saja ada orang yang merasa tidak suka, bagaimana bila kita sudah antipati!"


Terhadap hawa-hawa negatif, rasanya bolehlah sesekali guru tutup telinga dengan berbagai pandangan keirian. Bukan kepedulian si guru yang salah, melainkan hati si pengiri yang kurang lapang.

Kalau seorang guru yang tadinya peduli malah sering mendengar nada-nada negatif bin sumbang, khawatirnya kepedulian yang sudah dikuatkan dalam hati itu jadi goyah.

Sedangkan seorang ulama besar Imam Syafi'i saja ketika berjalan ke pasar, beliau sumbat kedua telinganya agar tak banyak mendengar percakapan nirfaedah di pasar. Secara tidak langsung, sikap beliau telah mengajarkan kepada kita agar tak perlu mendengar kata-kata yang tak berguna.

Bodo Amat!

Dalam sebuah situasi ruang kerja yang renggang, terkadang sangat perlu digaungkan alasan dari sebuah kepedulian. Bukannya ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa kita sedang peduli, melainkan mengingatkan diri dan semua orang agar kembali ke "jalan profesi yang benar".

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun