Agaknya sudah 9 bulan kita akrab dengan Pembelajaran Jarak Jauh. Barangkali, sesekali guru dan siswa mencoba merenungi bagaimana suasana belajar di akhir bulan Februari 2020 lalu. Bulan di mana pembelajaran masih fokus digelar dengan saling bertatap muka.
Sayangnya, ketika kita mulai memasuki bulan Maret, April, hingga bulan-bulan berikutnya, aktivitas pembelajaran sehari-hari menghasilkan kesan yang buruk. Hal itu merupakan imbas dari adaptasi kita terhadap pandemi, juga keakraban kita dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Belum selesai di sana, 3-4 bulan setelah PJJ digelar, ternyata sistem pembelajaran yang melibatkan kecanggihan teknologi itu tidak begitu menyenangkan. Malahan, membosankan dan membuat jenuh.
Buktinya? Kita bisa bersandar kepada hasil survei UNICEF tentang pelaksanaan PJJ dan bagaimana perasaan siswa andai sekolah kembali dibuka.
Survei yang menampung lebih dari 4000 tanggapan di 34 provinsi tersebut berkesimpulan bahwa mayoritas (87%) siswa ingin kembali belajar tatap muka di sekolah. Alasan yang terang terlihat dari data adalah, para siswa kurang nyaman belajar di rumah, pun dengan keterbatasan akses PJJ.
Padahal sesungguhnya kita masih bicara tentang keterbatasan, kan? Bukan ketidakmampuan akses. Dengan demikian, masih ada peluang bagi aplikasi berbasis teknologi lainnya untuk menutup celah kesulitan akses PJJ, agar para siswa tetap mendapat pelayanan pendidikan. (Lebih lanjut, bisa baca: Memanfaatkan Fitur Story Whatsapp dalam PJJ)
Tapi, sampai hari ini, mengapa kok PJJ masih "begitu-begitu saja?"
Masih terdengar kata "lelah" dan "berat" dari bibir siswa yang selama ini menerima banyak tugas PJJ.
Masih terdengar kata "bosan" dan "jenuh" yang terucap oleh siswa karena sebagian gurunya hanya memindahkan materi ajar dari media cetak ke media digital. Pun dengan suara-suara gamang lainnya.
Dari sana, sepertinya perlu ada yang kita benahi, terutama dari sisi pendekatan gurunya. Setidaknya, ada 3 hal yang bisa dilakukan guru untuk membuat PJJ jauh lebih menyenangkan.