Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bukan Mendengarkan, Belajar Hari Ini adalah Mengalami

13 Januari 2020   22:32 Diperbarui: 14 Januari 2020   06:41 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belajar hari ini, agaknya seluruh siswa di Indonesia butuh angin segar. Tidak sekadar angin sepoi-sepoi yang datangnya dari guru, tidak juga sekadar angin semilir yang datangnya dari orangtua. Ini tentang angin segar yang bernama Merdeka Belajar.

Karena segarnya semilir angin Merdeka Belajar, tidak hanya Kemendikbud dan kebijakannya yang harus yang adem, tapi juga sekolah, guru dan terpenting adalah siswanya.

Terang saja, barangkali di hari kemarin siswa sudah lelah dengan terus-menerus memakan dan menghafal perkataan guru, berikut dengan titik komanya. Siswa juga sudah letih memakan begitu banyak muatan materi dalam kurikulum tanpa bisa terbebas dari catat, resume, fotocopy, dan salin ulang.

Bukannya berdalih keluh agar siswa tidak lagi menulis, tapi apakah tulisan siswa hari ini sudah menjadi ilmu yang lengket di pikirannya? Sudah bermakna dalam kehidupan kecilnya? Atau, malah sekadar menghabiskan 30, 38, 50, atau 58 lembar buku tulis, agar bisa cepat beli baru. Hmmm

Jangankan siswa, guru juga sebenarnya sudah lelah karena terus berbicara di kelas, terus menjadi pusat pembelajaran sedangkan siswanya begitu-begitu saja. Tidak terhitung berapa galon air mineral pelepas dahaga, beruntung guru adalah pahlawan tanpa jasa.

10 poin yang dibicarakan guru, mungkin yang lengket di pikiran siswa hanya 8. Memang awalnya ada siswa yang ingat 10 poin, tapi apakah ia akan ingat terus? Hmm, jangan-jangan hanya sampai akhir ujian semester. Setelah itu? Senyum-senyum dan duduk rapi di kelas, agar tidak kena marah guru. Hohoho

Jika terus seperti ini, bagaimana kita mau unjuk kualitas. Jujur saja, di saat kita ingin mencari pembanding kualitas pendidikan, di saat itu pula kita kecewa, malu dan mencari kertas untuk tutup muka.

Sesekali boleh kita lihat hasil beberapa kajian ilmiah baik dari luar dan dalam negeri seperti PISA, World's Most Literate Nations, TIMMS, PIRLS, Universitas21, Ujian Nasional, INAP, dan lain-lain. Kesimpulan menunjukkan, selama hampir 20 tahun kondisi pendidikan Indonesia stagnan berada di posisi salah satu terbawah di dunia.

Kita, semua penduduk di Indonesia sedih dengan ini. Sedih sekaligus menyoroti bagaimana lambatnya pergerakan pembangunan pendidikan di negeri ini. Namun, kesedihan ini mesti move on dan segera ditanggapi dengan perubahan, mulai dari hal-hal yang kecil seperti bagaimana siswa bisa menikmati pembelajaran di sekolah.

Belajar Hari Ini, Bukan Lagi Tentang Mendengarkan

Hari Sabtu kemarin, saat sedang kuliah saya sempat mendengarkan curhat seorang rekan guru SD yang beberapa kali dikeluhkan oleh siswanya. Setiap kali sang guru itu bercerita di kelas, siswa segera protes:

"Pak, Bapak cerita terus... Kapan kita belajarnya, Pak!"

Tanggapan awal, barangkali sang guru terlalu lama dan asyik bercerita hingga siswanya bosan mendengarkan. Terang saja, baik di SD maupun tingkatan sekolah yang lebih tinggi ada-ada saja guru yang sanggup berbicara hingga berjam-jam tanpa jeda. Hmmm, semoga siswa dapat jatah istirahat, ya!

Gaya ceritanya macam-macam. Ada yang ngebut, ada yang lembut, ada yang bernada tegas dan keras, serta ada pula yang humoris. Semua punya gaya andalan.

Guru yang ceritanya ngebut, siswa mendengarkannya juga ngebut. Entah apa yang lengket di otak siswa, nanti dulu. Guru yang ceritanya pelan, gaya lambat dan lembut, siswa juga menyimak dengan lembut. Kadang kelembutan itu melunakkan alis siswa hingga mengatup. Hihihi

Lalu, siswa sukanya yang mana? Tentu siswa lebih suka kepada guru yang bercerita secara tegas, tidak terlalu ngebut dan juga tidak terlalu pelan, serta menyelipkan humor untuk menggairahkan siswa.

Tapi, sayangnya tidak semua guru bisa seperti itu. Dan sayangnya belajar hari ini tidak cukup hanya mendengarkan. Mungkin dulu ketika guru cerita di kelas, siswa tidak protes. Tapi hari ini? Jika guru cerita dan bicara yang aneh-aneh, siswa akan protes "apa iya Pak!", "mana buktinya!"

Lumrah kiranya, toh siswa itu barangkali belum mengalami. Kadang, lihat saja belum apalagi mau mengalami. Apalagi jika ini siswa SD, agaknya pikiran mereka tidak bisa terus dibawa ke ranah abstrak. Mereka pahamnya konkret. Jika itu benda, maka benda itu harus yang ada, yang terlihat, yang bisa dipegang, serta jelas.

Itu baru mengajarkan siswa SD tentang benda. Lalu bagaimana tentang karakter? Tidak terbayangkan berapa kata sanggahan yang akan keluar dari mulut siswa jika guru terus hanya bercerita tentang karakter, pengertian, latar belakang, tujuan, manfaat, kegunaan, serta akibat dari penyimpangan karakter.

Siswa hanya mendengarkan, belum mengalami. Siswa mungkin bisa dengan cepat menghafal dan mencatat penjelasan guru, apalagi siswa SD. Namun, soal mengalami jawabannya masih entah.

Belajar Hari Ini adalah Mengalami

Angin segar hari ini dihembuskan oleh program merdeka belajar adalah siswa mengalami. Sebenarnya ini bukanlah nada baru, melainkan nada terusan pada tingkatan sekolah yang perannya krusial.

Katakalah seperti jenjang PAUD dan SD. PAUD memprioritaskan siswa agar mengalami berbagai situasi dan suasana kehidupan yang ada didekatnya.

Sewaktu di PAUD saat siswa mendengar kata memanjat, mereka segera mengalami bagaimana itu memanjat. Saat siswa mendengar kata main bola, mereka segera mengalami bagaimana itu bola berikut dengan cara mainnya. Saat siswa mendengar kata ayunan, mereka segera mengalami bagaimana itu berayun.

Wah, seperti ini ukuran bola, bentuk bola, warna bola serta cara bermain bola. Wah, seperti ini bentuk apel, warna apel, biji apel, dan cara makan apel. Semua hal yang mereka dengar, segera mereka alami hingganya lahir kesan yang tertinggal dan tak terlupakan.

Soal karakter juga demikian. Di PAUD sudah diajarkan bagaimana cara salaman, cara mengucapkan salam, cara makan yang baik, cara berbicara yang baik, hingga cara bersikap yang baik. semua dibalut dengan suasana menyenangkan.

Dan ketika di SD, SMP serta SMA? Dulunya metode yang paling dikenal sekaligus kurang disukai siswa SD adalah dikte. Mencatat hingga waktu habis, bahkan sampai berlembar-lembar.

Dan yang lebih menyedihkan adalah metode merangkum. Bagaimana tidak sedih, guru datang kasih tugas halaman ini sampai itu, disuruh catat, lalu gurunya ngobrol di ruang guru. Hmmm, semoga tidak terjadi lagi, ya...

Karena belajar hari ini adalah mengalami, maka menceritakan bukanlah mengajar, mendengarkan bukanlah belajar. Jika belajar itu adalah mengalami, maka mengajar itu adalah memfasilitasi kegiatan belajar agar siswa mengalami.

Maknanya, tidak melulu guru mesti jadi pusat perhatian di kelas. Jujur saja, mengajar hari ini sungguh lebih capek jika orientasi belajarnya adalah guru. Siswa milenial cepat bosan, cepat hilang kesan, dan kritis dengan metode lawas.

Mengajar siswa SD tentang tumbuhan singkong misalnya. Agaknya guru hari ini tidak perlu lagi panjang lebar cerita tentang bentuk singkong, warna singkong, rasa singkong, atau cara menanam singkong.

Guru hanya perlu ajak siswa keluar kelas dan cari yang mana itu pohon singkong. Biar siswa sendiri yang menjelaskan seperti apa itu singkong, bagaimana bentuk batangnya, bentuk daunnya, hingga jumlah singkongnya. Sekalian, biarkan siswa mencoba untuk menanam singkong itu di dekat rumah serta memasaknya.

Dan akhirnya? Tuntaslah pelajaran tentang singkong. Jika siswa disuruh menceritakan apa yang ia alami, maka rasanya mereka lebih antusias bercerita daripada gurunya.

Seiras dengan singkong, agaknya pembelajaran karakter di sekolah juga demikian. Bukan sekadar teori dan beruntai-untai definisi melainkan juga ajak siswa untuk mengalami. Siswa hari itu mesti punya kemampuan critical thinking.

Seiring dengan tingginya tuntutan kualitas pendidikan, siswa hari ini mesti mampu merumuskan suatu masalah, memberikan argumen, melakukan sintesis, analisis, evaluasi, serta memutuskan untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan.

Jika semua ini hanya teori, jujur saja kedengarannya sangat berat, dan mengajarkannya amat berat. Namun, jika siswa dituntut untuk mengalami, maka guru hanya menuntun siswa agar berani berpikir kritis dan lepas dalam mengungkapkan unek-unek dan opini siswa.

Saat siswa sudah terbiasa berpikir kritis dan mengalami, guru akan puas. Jawaban-jawaban siswa akan keluar dari definisi karena semua yang mereka ungkapkan adalah pengembangan dan makna.

Inilah yang sebenarnya menjadi harapan tertinggi dari pendidikan karakter. Bukan sekadar tuntas secara teori, melainkan juga tuntas karena mengalami. Teori bisa dengan mudah dihafal, tapi karakter butuh pengalaman dan mengalami.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun