Jika dibandingkan dengan anak lemah, maka anak biasa "masa bodoh" saja. Pikiran yang melayang di benak mereka hanyalah:
"Setidaknya aku tidak remedial, dan semoga aku naik kelas!"
Baik anak lemah maupun anak biasa tentu ingin segera mencapai prestasi. Apalagi bagi anak yang biasa-biasa saja. Mereka mungkin iri jika tiap kali lihat nilai teman 100, 98, 95, sedangkan nilai mereka hanya 60-75.
Kalau anak lemah rasanya hanya sebagian yang iri. Bahkan, mereka malah mentertawai nilai mereka sendiri dan menganggapnya "masa bodoh" juga. Iri ada, tapi keirian itu segera sirna oleh kemalasan.
Belajar Bukan Sekadar Memetik Hasilnya
Kalau saja pandangan tentang penggolongan anak berdasarkan ranking dapat diubah, maka meninggikan pemaknaan belajar adalah salah satu opsi terbaik. Terang saja, pemaknaan belajar berdasarkan hasil akhir seringkali membuat orang lupa dengan proses.
Yang cepat mencapai hasil akan terpuji, yang "asal" sampai hasil akan aman, dan yang belum mencapai hasil akan terhina.
Darinya, timbullah pemaknaan belajar adalah sebuah persaingan atau kompetisi. Mirisnya, sebuah kompetisi ada yang mengejar secara sehat, adapula yang bertindak dengan curang. Ujung-ujungnya lari ke mencontek saat ulangan, menyembunyikan buku/catatan kecil di dalam kantong baju, hingga mempelajari isyarat huruf abjad dengan main mata untuk menyelesaikan soal pilihan ganda.
Apa yang mereka kejar?
Tentu saja hasilnya. Bukan hanya anak lemah, bukan juga anak biasa, melainkan banyak anak-anak ranking yang menempuh jalan curang untuk meraih prestasi. Entah itu keinginan mereka pribadi, tekanan orangtua atau sekadar ingin tidak mau kalah saing, yang bisa menjelaskan adalah orangtua mereka.
Jujur saja, ajaran mencontek juga berasal dari orangtua. Biasanya hal ini berawal dari ketidakmampuan orangtua dalam membantu anaknya menyelesaikan tugas dari guru. Akhirnya, mulailah orangtua berpesan agar "besok pergi pagi-pagi di sekolah nak, tanya sama si X, kan dia ranking 1!"