Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Jangan Terlalu Sering Suap Anak dengan Smartphone

9 Oktober 2019   21:56 Diperbarui: 10 Oktober 2019   13:30 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak yang kecanduan Smartphone. (parenting.orami.co.id)

Smartphone begitu kordial dengan kita, hingga masyarakat desa yang ternilai sangat ramah pun kalah saing. Smartphone begitu lezat untuk dinikmati, sampai-sampai ayam goreng dan bakso bakar yang kelihatannya begitu menggoda ditinggalkan hingga basi.

Tidak berbeda dengan makanan anak-anak hari ini. Anak lapar dan tidak mau makan nasi, harus dicari dulu lauk tambahan berupa smartphone, barulah ia mau makan. Anak merajuk dan tidak mau mandi, harus disuap dulu dengan sabun mandi bermerek Smartphone agar dia mau mandi.

Akhirnya, sehari-hari anak hanya bergaul dengan smartphone. Teman sebaya bisa saja ia tinggalkan dengan menutup rumah. 

Orangtua bisa saja ia abaikan dengan cara sok sibuk dengan "pinjamkan saja smartphone Ayah!". Bahkan, dirinya sendiri bisa ia abaikan dengan telat makan, telat minum, lupa mandi, tak gosok gigi, hingga menolak untuk sekolah.

Orangtuanya bagaimana? Pasti pusing berkepanjangan menghadapi anak seperti ini. Lah, salah orangtua sendiri bukan?

Kenapa kemarin sering menyuap anak dengan smartphone!
Kenapa kemarin mendownload game banyak-banyak untuk dimainkan oleh anak!
Dan kenapa kemarin selalu membujuk anak yang menangis dengan menyuguhkan smartphone!

Memang perlu ditegaskan bahwa smartphone tidak melulu sama seperti narkoba, hingga anak-anak dilarang memegangnya karena takut terpenjara bersama kecanduan. Hanya saja, kita tidak bisa menampik fakta-fakta pelik yang sudah terjadi dalam waktu dekat ini.

Fakta: Anak Bisa Celaka Karena Gangguan Mental

Sudah begitu banyak fakta miris yang berserakan akibat smartphone. Di bulan Juni 2019 kemarin tepatnya di Malaysia, seorang bocah menunjukkan gejala gangguan mental dengan mengurung dirinya di mobil.

Ini semua berawal ketika sang ibu memberikan anaknya smartphone dan meninggalkannya sendiri di mobil. Setelah beberapa waktu, ternyata anak itu malah mengunci dirinya sendiri di dalam mobil.

Ia tidak mau membukakan pintu mobil karena takut smartphonenya dirampas oleh ibu. Hingganya, sang  ibu harus menelepon petugas pemadam kebakaran untuk membantu menjebol pintu mobil.

Fakta ini menunjukkan alangkah bahayanya jika anak usia bocah sudah sering disuap dengan smartphone, sampai-sampai dengan ibu kandung sendiri ia ketakutan. Tidak wajar memang, namun itulah dampak buruk yang tertinggal.

Ada lagi di Bekasi, lagi-lagi dengan kasus yang sama. Adalah Wawan Gim, seorang pemuda yang sudah kecanduan akut bermain game di smartphone. Pemberitaan Wawan bahkan begitu viral dan sempat dimuat di kanal Youtube DAAI TV pada bulan Juli 2019 lalu.

Wawan yang akhirnya menjalani rehabilitasi di rumah sakit jiwa ini menunjukkan perilaku aneh dan kadang tidak sadar. Bahkan, walaupun smartphone sudah lepas dari tangannya, jari-jarinya tetap saja bergerak layaknya orang yang sedang bermain game.

Dua contoh perilaku menyimpang di atas kiranya hanya sekadar gangguan mental yang sejatinya dapat diatasi. Namun, ada lagi kejadian pelik seorang bocah berumur 7 tahun tewas sambil memeluk HP.

Kejadian tragis ini terjadi di NTT bulan maret 2019 kemarin. Berawal dari main game, si bocah yang memegang HP sambil mengecas lalu ditinggal ke ladang oleh neneknya. Namun, ketika neneknya kembali ke rumah, si bocah sudah dalam kondisi kedua tangan terbakar, tersengat listrik dan kemudian meninggal.

Kita begitu sedih membaca kisah-kisah nyata seperti ini. Kisah yang merupakan akibat dari keteledoran dan kelalaian orangtua, hingganya mengakibatkan anak-anak yang tidak tahu apa-apa menjadi tersakiti, terluka, bahkan kecelakaan.

Fakta-fakta di atas hanyalah sebagian kecilnya saja, dan itu hanyalah kisah-kisah yang sudah terjamah dengan televisi dan Mbah Google. Bisa jadi sudah begitu banyak kasus yang sama, namun disembunyikan oleh orangtua dengan alasan karena mereka terlalu "sayang anak".

Agaknya, akan macet kehidupan masa kecil jika anak-anak sudah menganggap bahwa smartphone adalah teman baiknya. Bahkan, banyak anak sudah menjadikan smartphone sebagai makanan sehari-hari dan sesuatu yang menyenangkan hatinya.

Ilustrasi anak bermain game online. (simpananku.xyz)
Ilustrasi anak bermain game online. (simpananku.xyz)
Lebih lanjut, menurut para ahli kecanduan game online dapat menimbulkan gangguan atau masalah kesehatan tertentu. Pada orang pecandu game, penelitian menemukan adanya perubahan fungsional dan struktural dalam sistem reward saraf.

Perubahan, atau lebih tepatnya penyimpangan fungsi saraf akan mengakibatkan gangguan terhadap perasaan senang, gangguan pembelajaran, dan perubahan motivasi anak. Takutnya, anak akan salah paham tentang sebuah kesenangan, dan anak juga akan mudah sekali kehilangan motivasi.

Bahkan, seringkali saya mendengar anak-anak mengumpat, mencaci, dan berkata-kata kotor saat bermain game bersama teman-temannya. Mirisnya, ungkapan-ungkapan itu malah biasa bagi mereka. Malahan mereka saling berbalas umpatan via game. Sungguh, ini sangatlah merusak.

Orangtua Jangan Terlalu Sering Suap Anak Dengan Smartphone

Nanti dulu berkisah tentang harapan besar orangtua terhadap kesuksesan anaknya. Nanti juga bercerita tentang menjadikan anak sulung sebagai calon penerus tulang punggung keluarga. Karena jika terus-menerus dibiarkan seperti ini, maka harapan para orangtua akan semakin tergusur oleh smartphone.

Ibaratkan makan ayam goreng, smartphone tidak bisa jadi terus-menerus disayur tiap hari. Harus ada variasi dan ragam di atas nasi kita. Hal ini semata-mata demi kesehatan anak. Bayangkan saja jika anak setiap hari makan ayam goreng, bisa-bisa ia "berkokok" kebosanan.

Walaupun dengan smartphone anak tidak akan pernah bosan, tetap saja orangtua tidak bisa menjadikannya sebagai cara damai untuk tidak menabuh gendang perang dengan anak. Apalagi jika anak masih berusia 2-5 tahun. Lebih baik diberikan mainan bola, abjad dan angka tiga dimensi, atau beri dia pensil untuk berkreasi.

Jikapun harus pakai smartphone, maka cukuplah menyuapnya 1-2 kali saja, tentu dengan durasi terjangkau layaknya khotib yang sedang khutbah jumat. Itupun harus didampingi oleh orangtua.  Repot? Memang harus repot jika sayang anak, karena tantangan orangtua hari ini lebih berat.

Selain itu, penting pula bagi para orangtua untuk mengenalkan anak dengan lingkungan sosial. Walau sekadar duduk di teras rumah setiap pagi atau sore hari, setidaknya anak akan memandang  dunia luar dan disibukkan dengan menegur setiap orang yang lewat di depan atau samping rumah.

Endingnya, biarlah banyak orang yang mulai antipati, tapi jangan dengan orangtua. Biarlah pula banyak persepsi yang muncul bahwa generasi milenial sekarang adalah generasi yang apatis dan antisosial, lagi-lagi jangan dengan orangtua.

Semua hanya untuk menerbitkan, menjilid, menggandakan, dan menebarkan generasi milenial yang sehat secara lahir dan batin.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun