Kemampuan membaca sepertinya menjadi tantangan serius bagi kalangan pejabat di Indonesia. Ada kecenderungan saat ini bahwa pejabat dan politikus Indonesia kurang literasi karena mereka bagian dari masyarakat Indonesia pada umumnya yang memiliki tingkat literasi rendah.
Harus kita akui bahwa kompetensi literasi kita masih rendah berdasarkan hasil kajian PISA. Rendahnya minat baca dan budaya membaca yang lemah menjadi akar masalah yang memengaruhi semua lapisan masyarakat, termasuk para elit negara ini.
Fenomena kurangnya literasi pada pejabat dan politikus tidak bisa dilepaskan dari kondisi umum literasi di Indonesia.
Minat baca yang rendah adalah masalah mendasar di Indonesia. Berbagai survei, seperti dari UNESCO dan Central Connecticut State University, menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, bahkan berada di peringkat terbawah di dunia. Ini bukan hanya masalah masyarakat biasa, tetapi juga para pemimpin.
Sejak kecil, budaya membaca belum tertanam kuat dalam keluarga atau lingkungan pendidikan. Banyak orang lebih memilih hiburan instan dari media digital seperti ponsel pintar, media sosial, dan televisi daripada membaca buku.
Sejak dahulu pula, masyarakat Indonesia lebih terbiasa dengan tradisi lisan daripada tradisi membaca. Cerita, dongeng, dan informasi lebih sering disampaikan dari mulut ke mulut. Budaya ini masih kuat hingga sekarang, di mana banyak orang, termasuk para pejabat, lebih suka mendapatkan informasi dari diskusi, rapat, atau berita di media sosial daripada membaca buku atau dokumen panjang.
Banyak pejabat dan politikus tumbuh di lingkungan, baik keluarga maupun pendidikan, yang tidak memprioritaskan membaca. Di sekolah, membaca seringkali hanya dianggap sebagai kewajiban untuk memenuhi tugas, bukan sebagai kebiasaan untuk memperkaya wawasan. Lingkungan pergaulan juga lebih cenderung mengarah pada kegiatan yang tidak berbasis literasi.
Era digital dan gempuran media sosial telah mengubah cara banyak orang mengonsumsi informasi. Konten digital yang interaktif dan visual, seperti video pendek, lebih menarik dan mudah dicerna dibandingkan teks yang panjang. Hal ini membuat banyak pejabat dan politikus lebih memilih untuk mendapatkan informasi secara instan melalui media sosial, yang seringkali ringkas dan tidak mendalam.
Pendidikan yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia juga berperan. Kualitas pengajaran dan kurikulum di beberapa daerah masih belum memadai untuk mendorong siswa agar memiliki kemampuan literasi yang kuat, seperti kemampuan berpikir kritis dan menganalisis informasi secara mendalam.
Keterbatasan akses terhadap buku berkualitas, perpustakaan yang tidak memadai, dan kurangnya taman bacaan juga menjadi hambatan. Meskipun upaya pemerintah terus dilakukan, masih banyak daerah yang kesulitan mendapatkan bahan bacaan yang memadai.