Kurang lebih sepuluh tahun lalu aku sempat terhenyak ketika semua orang berbicara mengenai korupsi. Temanku yang mengikuti sebuah seminar kecil di sebuah kota, setelah mendengar segala macam contoh dan juga teori dan lain sebagainya, ia terlihat kesal dan meminta waktu untuk memberikan pendapatnya sebagai peserta seminar.
“Mohon izin. Sebenarnya untuk membersihkan piring yang kotor yang dibutuhkan adalah pembersih yang bersih. Akan sangat sulit untuk membersihkan piring kotor bila pembersih untuk membersihkan piring kotor, pembersih itu masih kotor. Akan sangat sulit. Begitupun ketika kita akan menyapu halaman yang kotor sedangkan sapu yang kita pakai kotor maka akan sulit membersihkan halaman karena halaman yang kotor terlihat bersih tetapi terkena lagi kotoran dari guguran sapu yang kotor,” demikian kurang lebih pernyataan teman saya yang saya ingat sekitar 10 tahun yang lalu.
Pernyataannya waktu itu membuat semua peserta terhenyak termasuk saya. Jleeeb langsung nujah jantung bukan nujah boyok mak uji wong kito galo.
Beberapa hari lalu saya ketemu kembali dengan sang teman. Sang teman ini diminta oleh temannya untuk menguji di sebuah perguruan tinggi di sebuah kota. Sempat berbincang basa-basi. Si teman yang sudah sekolah sangat tinggi dan ilmunya cukup mumpuni. Nilai IPK-nya juga nyaris sempurna. Memiliki teman bejibun yang siap menjaganya untuk tidak melakukan perbuatan keji dan mungkar. Apalagi mendekati perbuatan zinah. Rutin mengikuti pengajian.
Terlihatlah sebuah adegan, frame by frame drama, ketika teman saya menolak pemberian bingkisan dari seseorang. Bahkan si teman menjelaskan kalau dia tak bisa menerima pemberian orang tersebut. Tetapi terlihat sekali orang yang memberi berusaha dengan segala macam cara agar teman saya mau menerimanya. Sempat terjadi “perdebatan.” Entah apa yang terjadi, frame by frame drama itu akhirnya berakhir dengan si teman pun kalah dan mau menerima bingkisan tersebut.
Beberapa minggu kemudian, kembali kami bertemu di kota lain dalam sebuah kegiatan. Akupun sedikit menyentil mengenai alasannya menerima bingkisan atau hadiah yang dia terima beberapa waktu lalu. Si teman pun sepertinya tersinggung dan berkata, “apa sih bedanya dengan dirimu. Kerjamu itu apa? Uang yang kau terima dari orang lain itu pasti uang haram karena pasti uang itu tidak masuk dalam anggaran mereka,” jawabnya dengan tenang.
Akupun terjengkang ke belakang dan terduduk, bernafas tersengal-sengal terkena “tujahannya.” Wak wak wak. Wadaauuu. Hadiah kecil yang diterimanya ternyata membunuh perasaanku.
Diriku sebenarnya hanya mengingatkannya karena biasanya, sekali lagi biasanya, sekali menerima hal-hal kecil maka biasanya akan mau menerima hal-hal yang besar. Semuanya dari hal kecil yang bisa mematikan perasaan dan juga rasa raga diri dan harga diri.
Tulisan ini tidak untuk menghakimi. Tulisan ini untuk menjaga asa, agar kita memulai memperbaiki diri dari segala lini kehidupan.
Satu hal yang membuatku terenyuh adalah, apakah bila kita diingatkan oleh orang yang penuh dosa, pencuri, perampok, koruptor dan segala pendosa besar lainnya agar kita menjadi orang yang baik dan jangan berbuat jahat, jelek, korupsi dan lainnya, kita tak harus menerimanya? Padahal sebenarnya bisa saja orang yang mengingatkan itu agar si orang yang diingatkan itu agar tidak jatuh lebih dalam lagi ke lubang kejahatan yang sudah tak bisa lagi ditarik alias diselamatkan. Mak jleeebbbb.
Bisikan dari jeroanku membuatku menjadi bergidik. “Nak, Tuhan menciptakan manusia dengan sempurna. Kau diberikan akal untuk mencerna. Jangan congkak, sombong apalagi menghina orang yang menasehatimu. Walaupun orang yang menasehatimu itu pendosa besar sebab dibalik perbuatan dosanya, si pendosa adalah manusia juga yang memiliki ruh Tuhan. Memiliki kebaikan walau secuil, setitik biji sawi.”