Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sembilu Memotong Hati

4 November 2017   08:32 Diperbarui: 4 November 2017   08:52 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pulang besok naik apa?". "Naik pesawat. Ke Jakarta dulu ke tempat kakak baru pulang." Walah naik pesawat. Kami bertiga saja naik Benteng Jaya. Seperti kata Mul teman sekelompokku, perempuan ini memang penuh misteri dan anak orang kaya. Lah kami saja kalau nggak ada duit makan belut selokan dan kangkung yang tumbuh liar di kolam dekat tempat kos.

"Aku ke kanan. Kamu ke kiri ya. Jangan ikuti aku terus. Aku kan pulang ke mess mahasiswi," ujarnya. Aku pun jadi tersipu malu. Padahal dalam hati, bermaksud menghantarkannya hingga ke pintu gerbang mess mahasiswi. "Ya. Selamat malam". "Malam".

Jantungku berdegup kencang ketika kami saling memunggungi. Hatiku bergejolak. Darahku bergemuruh seperti banjir bandang. Langkah ketujuh aku berbalik dan melihat si menara berjalan seperti peragawati. "Aku sayang kau. Aku berjanji kan kubuktikan cintaku bukan tiga minggu. Kan kubuktikan selama 30 tahun," teriakku refleks.

Si menara pun berhenti sejenak. Sayup terdengar. "Buktikanlah". Tanpa menoleh ke belakang. Dan si menara pun masuk ke gerbang Mess Mahasiswi.

Tiga minggu kemudian. Aku berusaha untuk main ke fakultasnya dan ternyata tak ketemu. Diriku pun mulai terombang-ambing. Apakah pernyataanku waktu itu diterimanya? Ataukah hanya basa basi saja. Minggu ke lima masih belum ketemu juga. Pada minggu ketujuh aku mencari tahu dengan bertanya pada beberapa orang di fakultasnya. Prameshwari ternyata sedang koas di luar kota.

Rindukupun membuat aku selama dua bulan seperti orang gila. Aku lebih banyak membaca novel daripada belajar perbandingan politik dan juga etika protestan dan kapitalisme. Masih ada Kereta yang akan Lewat kulahap. Ke perpustaakan universitas bukan cari buku-buku penunjang kuliah malah mencari novel.

"Jatuh cinta itu bisa membangkitkan semangat belajar. Tapi juga bisa menghancurkan kuliah. Nah kamu itu yang bakal lambat tamat kalau masih gentayangan nggak jelas," kata Mul teman sekos, bocah semarang yang jago main bola kaki.

Pernyataan Mul itupun menggoyangku. Akupun memberi batas hingga mid semester untuk mencari tahu si menara yang pandai menari. Selepas itu aku akan fokus kuliah lagi.

Semakin aku intens mencari Prameshwari. Semakin aku lemah lunglai. Si menara berhasil masuk ke dalam alam bawah sadar. Susahnya aku juga sudah terpesona sehingga menerima si menara untuk masuk.

Itu seperti ketika aku tak bisa melihat si menara usai menari. Celingak-celinguk nggak jelas. Lemas.

"Cinta itu seperti sembilu yang memotong hati," tulisku di meja belajar. Aku butuh kamu menara untuk memompa darahku lagi. Kalahkah aku? Cuma tiga minggu seperti kata si menara. "Woiii belajar. Besok sudah mid semester," kata Mul membangunkan lamunanku.

***

Itulah pertama kali aku kehilangan penari.

Dua puluh lima tahun lebih berlalu... dan kini....

***

Salam Kompal

Salam Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun