Mohon tunggu...
Dwi Kurnia Wibowo
Dwi Kurnia Wibowo Mohon Tunggu... Freelancer - Laki-laki

Lahir di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Proyek Irigasi Pak Ogah

1 September 2020   22:59 Diperbarui: 4 September 2020   15:44 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Wah dulu air di selokan irigasi ini tidak pernah kering Pak. Sawah warga desa di sini juga banyak yang subur karena selokan irigasi ini. Airnya bening banget, ikan main petak umpet aja susah. Bagaimana tidak, karena kami tempat tinggalnya saja berada di sekitaran kaki Gunung Sindoro,” terang Jono kepada tim survei perbaikan irigasi. Tim survei perbaikan irigasi juga sontak langsung percaya karena memang harusnya seperti itu. Mereka terheran juga kenapa pemerintah setempat tidak bisa menangani hal-hal semacam ini, padahal selokan irigasi ini peniggalan masa Kolonial Belanda yang notabene tinggal merawatnya saja.


Selokan irigasi yang panjangnya lebih dari 30 km itu bisa mengairi ribuan hektar sawah milik warga. Selokan dibangun masa Kolonial Belanda dengan cara membendung Sungai Sigaluh itu sekarang banyak ditumbuhi rumput liar, tanggul banyak yang jebol karena tergerus lajunya pemekaran permukiman penduduk. Alhasil air tidak bisa mengalir lagi hingga ujung selokan yang harusnya menjadi air terjun di pinggir Sungai Sigaluh.


Usut punya usut, ternyata di sumber mata airnya dijadikan ladang warga yang permukimannya nempel di lereng gunung. Hutan di lereng gunung banyak dibabat diganti menjadi lahan perkebunan tembakau, kubis, kentang dan tanaman endemik pegunungan lainnya yang dinilai warga setempat laku dijual di pasar daerah dataran rendah. Mereka kaya dan jaringan pasar akan dengan mudah dibuat karena perbandingan daerah pegunungan dan dataran rendah di Indonesia bisa diibaratkan seperti pabrik rokok dengan jumlah perokoknya.


Setelah besar pun anak-anak petani gunung akan meneruskan lagi jaringan pasar orang tua mereka dan terus beranak-pinak seperti itu. Itu berarti mereka tidak beranjak dari desanya dan terus menambah jumlah rumah di permukiman yang nempel di lereng gunung, dengan cara yang sama pula yaitu membabat hutan lereng gunung. Uang sudah berantakan jadi asal-asalan menabarak aturan alam.


Radius 20 km dari lereng gunung, adalah permukiman warga tempat Jono tumbuh tinggal dari lahir hingga memiliki anak dua. Masa kecilnya dulu sangat berkesan karena disuguhkan panorama indah hamparan sawah setiap buka jendela pagi hari. Semua itu entah hilang ke mana, sekarang banyak ditumbuhi pohon bahan kayu lapis. Ya jelas saja, air saja sudah tidak semelimpah dulu, warga banyak banting stir sawahnya dikeringkan dan ditanami pohon bahan baku kayu lapis. Jangka waktu panen yang lama tidak seperti sawah yang bisa memanen padi minimal dua kali dalam setahun. Tidak ada pilihan lain dari pada tidak bisa diolah, warga sudah banyak yang bingung.


Jono bisa dikatakan sekolahnya agak makan bangkunya sekolahan. Memang banyak diceritakan oleh warga di desa kalau Jono ada otaknya. Selesai makan bangku di UGM, Jono memang jadi punya banyak teman yang dulunya seperjuangan untuk dapat ijazah yang ada gambar gajahnya. Jono yang sudah geram dengan semakin tergerusnya lahan sawah di desanya, ia mengajukan ke pemerintah setempat untuk melakukan perbaikan. Harapan Jono sederhana, ia tidak mau daerahnya tempat tinggalnya yang harusnya sumber air melimpah tapi mendatangkan beras dari daerah lain. Bukan suatu kesombongan menurutnya, karena itu yang harusnya terjadi.


Jono sempat heran kenapa pabrik air minum milik Tirto Utomo itu masih saja bisa memberangkatkan air untuk dijual ke luar daerah setiap hari. Lebih dari 10.000 galon per hari mungkin, tebakan Jono sebagai orang yang tidak mengerti ukuran spesifik galon air minum kemasan itu. Jono pun potong kompas ke pemerintah provinsi untuk pengajuan pembenahan irigasi sawah yang melewati sawah di desanya. Bermodal kenalan teman seperjuangan di UGM dulu yang sekarang bekerja di kantor pemerintahan provinsi. Pasalnya respon dari pemerintah setempat kurang membuat Jono puas.


Tidak jauh dari rumah Jono, ada seorang penganut kapitalis kelas kampung yang bernama Tini. Warga desa sering memanggilnya Juragan Tini. Tengkulak gabah kaya yang juga memonopoli pupuk kimia di desanya Jono. Bagaimana tidak, bibit padi beli di Juragan Tini, pupuk kimia beli di sana juga dengan sistim ambil dulu bayar setelah panen, tetapi harus jual hasil panen ke Juragan Tini.


Jika tidak, maka pembelian bibit padi dan pupuk kimia akan diembargo oleh Juragan Tini. Hutang pun akan digenjot jumlahnya dengan harga bibit padi dan pupuk kimia sebagaimana harga diotak Juragan Tini. Pastinya akan sangat menggenjot daya berpikir akal sehat untuk harganya. Juragan Tini yang punya kenalan di Gudang BULOG itu sangat merdeka dari jeratan urusan perut untuk porsi warga yang tinggal di desa.


Itu dulu, sekarang tidak ada lagi pupuk kimia yang singgah di gudang Juragan Tini. Gabah pun hanya mengisi sela-sela sarang laba-laba di gudang gabahnya. Semenjak Jurangan Tini memutuskan menjanda karena suaminya meninggal, dongkrak modal pun terhenti. Suaminya dulu semasa hidupnya adalah pemborong rumah-rumah BTN. Sekarang hanya sisa-sisa yang ada saja untuk mengisi kekosongan waktu dalam bingungnya Juragan Tini. Warga di desa masih tetap memanggilnya Juragan Tini, hanya itu mungkin yang tersisa.


Juragan Tini dan Bapaknya Jono masih ada hubungan saudara jauh. Jadi tetangga rumah Bapaknya Jono, punya anak perempuan dan anak perempuan ini menikah dengan anak tetangga samping rumahnya Juragan Tini. Bapaknya anak tetangga samping rumahnya Juragan Tini ini bekerja sebagai supir truk gabah milik Juragan Tini. Begitu kira-kira hubungan saudara jauh antara Juragan Tini dan Jono. Itu berlaku juga hampir di segala bentuk kampung di Indonesia, di mana ada orang yang punya uang maka banyak orang berlomba mengaku jadi saudaranya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun