Mohon tunggu...
Yosep Mau
Yosep Mau Mohon Tunggu... Penulis - Debeo Amare

Hic et Nunc

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Tetesan Air Mata

27 Maret 2020   10:24 Diperbarui: 27 Maret 2020   10:34 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Berpikir rasional, memintal kebenaran-sepanjang waktu, masa bodoh, kejam intelektual sudah pasti bukan tradisi leluhur. Mengapa leluhur harus masuk dalam kehidupan kita. Bukankah leluhur hanya sebuah kenangan, memoar dari cerita-cerita keluarga bila teringat. Ah.. itu hanya dongeng, mitos, dari orang-orang berpikiran dangkal, rendah dari tak berpendidikan alias kampung.

Orang kampung memang kampungan. Pikirannya hanya mitos, jika sakit lebih memilih dukun ketimbang berobat ke puskemas. Jika bersalin lebih percaya dukun beranak ketimbang bidan desa. Ya Allah, kemanakah pikiran orang-orang ini Kau tambatkan.

Berpikir tentang Zainal memang sulit. Orang ini sangat sulit untuk diajak bicara bahkan untuk berpikir namanyapun rasanya membuang waktu saja. Pikiran kolotnya terkadang membuat teman-teman berpikir abstrak. Bahkan si Dino teman dekatnya kadang mengeluh dalam doa. Ia memohon agar zainal diberi Ridho oleh Allah sehingga ia dapat pulih dari sakit.

Ridho adalah bagian dari belaskasih Tuhan untuk orang yang telah meninggal, mengapa harus untuk Zainal? Zainal masih hidup kenapa harus didoakan demikian, Ridho dari Allah tidak mengenal apakah manusianya masih hidup ataupun sudah meninggal. Ridho adalah anugerah rahmat yang menyelamatkan manusia terhindar dari segala macam siksaan neraka kelak, itulah keyakinan Dino.

Telah lima tahun sudah Zainal menikah dengan  teman dekatnya namun belum dikaruniai seorang anak. Dino terkadang berpikir untuk bercerai dengan Zainal perihal keturunan. Keduanya sering bertengkar mempermasalahkan siapa di antara mereka yang mandul. Dino memvonis Zainal mandul begitupun dengan Zainal yang tidak kalah mengatai suaminya mandul. Dino mengajak Zainal untuk melakukan pemeriksaan ke dokter tetapi Zainal menolak. Ia lebih memilih untuk melakukan pemeriksaan ke dukun. Ya, Zainal pemikirannya masih sama seperti waktu sekolah dulu.

"Pikiranmu sangat primitif Zainal," kata Dino suatu kali setelah makan malam. Zainal terdiam tak membalas perkataan Dino. Ia masuk kamar duduk di sudut tempat tidur sambil menyeka air matanya. Zainal sejenak berpikir malam ini ia harus pergi ke desa tetangga untuk memeriksa kondisi tubuhnya yang tak kunjung mendapatkan keturunan. Dengan niat dan kemarahan yang besar ia mengambil beberapa pakaian dan pergi. Zainal pergi tanpa sepengetahuan Dino. Jendela kamar menjadi saksi bisu di malam penuh kekecewaan dan tangis. 

Seperempat jam kemudian Dino mencari Zainal keliling kampung dan tidak menemukan di manakah istrinya berada. Perasaan marah, cemas, takut, menyesal bercampur dalam hati dan pikiran Dino. Ingin bertanya kepada tetangga rasanya tidak mungkin nanti dinilai macam-macam terhadap rumah tangga mereka. Apa boleh buat, malam semakin menyengat Dino kembali ke rumah dalam keadaan hampa pikirannya tak menentu. "Zainal, setidaknya kau meninggalkan sedikit tulisan untukku, supaya aku tahu, kemanakah engkau pergi." Kata-kata terucap mata terpejam seakan penyesalan baru saja menghantui Dino.

Tepat jam tiga subuh Zainal memasuki desa tetangga dan langsung menuju rumah dukun yang ia percaya dari mulut teman-temannya. Rumah dukun itu sangat mudah dikenal karena berada di ujung kampung dan cukup jauh dari keramaian. Kula nuwun,. Kula nuwun... kata Zainal sambil mengetuk pintu rumah si dukun. "Kula Zainal"..sambil menyebut namanya, tiba-tiba pintu rumah terbuka dan tanpa berkata apapun seorang lelaki menariknya masuk ke dalam rumah.

Zainal terkejut ingin menarik diri, namun kedua kakinya sudah terlanjur melangkah ke dalam mengikuti arah datangnya tangan itu. Ia kini berada di dalam rumah si dukun. Di sana ia melihat dukun itu tersenyum, "istirahatlah dahulu" katanya kemudian disela-sela senyumnya. Karena kecapean, Zainal membiarkan dirinya di bawah si dukun ke kamar tidur dan membaringkan diri di sana.

Sebelum Zainal membaringkan diri dan tidur ia mengatakan perihal kedatangannya ingin memastikan keadaan tubuhnya bahwa ia tidak mandul. "istirahatlah dahulu masih ada hari esok, nanti Neng akan tahu kondisinya esok" katanya kepada Zainal. Tubuh yang letih terpaksa mengurungkan semua niatnya untuk bertanya lebih lanjut siapa nama dukun desa ini. sejauh ini, Zainal cuman mengetahui bahwa di desa tetangga ada seorang dukun yang sangat mujarab dengan obat-obat tradisionalnya. Itupun ia dengar dari teman-teman ketika ia mengatakan keadaan keluarganya setelah lima tahun menikah.

Harapan mempunyai momongan dan kebebasan dari kritik mengantar Zainal berada di rumah dukun ini sekarang dan saat ini. Tubuh yang letih diliputi kegembiraan dan harapan untuk menanti fajar baru di hari esok, serasa ingin mengusir gelapnya malam agar cepat berlalu.  Rasanya ingin melihat fajar dan mendengar suara si dukun mengatakan "tubuhmu sehat Neng, bawalah ramuan ini untukmu dan suamimu. Aminkanlah, InsaAllah tahun depan Neng sudah memiliki momongan". "Ahh.. harapanku akan segera terwujud."..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun