Mohon tunggu...
Yosep Mau
Yosep Mau Mohon Tunggu... Penulis - Debeo Amare

Hic et Nunc

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tak Ada Akhir untuk Kita

15 Maret 2020   09:15 Diperbarui: 15 Maret 2020   09:21 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hidup itu sebuah peziarahan, peziarahan  tentang apa yang kita yakini di dunia ini. Kemanapun langkah kaki membawamu ke sudut bumi, sadarlah bahwa hidup selalu berada dalam relung peziararahan. Demikian kata "kesadaran" yang boleh ia ciptakan untuk dirinya.

Gusti, itulah dia. Nama pemberian dari Sang Ayah tercinta ketika sebelum kembali ke pangkuan Sang Kuasa, sembari memandang kelabu malam di mana sang anak tercinta mengendus keluar dari alam mimpinya yang panjang. Derai air mata membasahi pipi kedua insan pencipta, tatkala suara mungil itu bertebaran memenuhi sisi-sisi ruangan.

Tangan itu kekar, keluar dari sela-sela persembunyian menjamah sang kekasih, menepis keringat sekujur kepala yang terus mengalir membasahi kain penutup sang kekasih. "Terimakasih, kasihku, telah memberikan titian terbaik dari nadimu" darah sang kekasih terpacu begitu cepat ketika medengar suara lembut masuk menusuk telinga memenuhi seluruh rongga di dalamnya. "Oh, ada apa kasihku, bukankah ini sudah menjadi kodrat insani kita?" jawab sang kekasih dengan mata tersayup-memandang suami tercinta. "Ku akui hari-harimu bersama dia masih panjang dan aku tidak lagi mendapat kesempatan bersamamu tuk membesarkan dia, ambilah dia, asuhilah dia dan ajarkanlah dia untuk mencintaimu seperti aku yang tak pernah berhenti mencintaimu"

"Sayang,.. ada apa? Apa yang sedang kamu pikirkan, bukankah hari ini adalah hari penantian kita selama ini?" Setahun sudah engkau bertanya "kapan aku dapat menggendong titian hati kita? " lihatlah dan gendonglah dia," pinta sang istri kepada suaminya, "ah.. dia.. dia  kelihatan sedang bermimpi.."oh Gusti, terimakasih untuk cinta-Mu yang telah Kau berikan kepada kedua hamba-Mu ini," sang ayah terdiam tertunduk lemas setelah melantunkan doa. Kemudian memberikan kembali si buah hati kepada kekasihnya " kasihku...namailah dia, Gusti! karena dia kepunyaan Gusti Allah" sembari memandang bayi mungil yang masih terdiam dalam gendongan. "iya sayang.."jawab sang istri dengan suara penuh manja.

Malam semakin larut angin bertiup kencang menembusi celah-celah dinding rumah yang terbuat dari bambu. Tak ada kehangatan di dalamnya selain udara dingin memaksakan diri untuk masuk ke dalam setiap pori-pori kulit penghuni gubuk kecil ini. Tiba-tiba terdengar suara-suara berhamburan di halaman rumah, terdengar suara minta tolong tetapi dengan sekejap suara senapan itu menghentikannya. 

Si mungil tetap tertidur dalam dekapan sang bunda tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi. wajah itu kembali berwarna kelabu air itu terus mengalir membasahi wajah sang ibu ia gemetar ketakutan, dilihatnya sang suami bangkit berdiri, diselimutinya kedua orang yang ia cintai dan diciumi keduanya. Ia berbalik dan mengambil senapan berjaga bak seorang kesatria siap bertempur, ingin sekali dirinya menyaksikan apa yang terjadi di luar, tetapi bisikan suara hatinya yang kuat tak bisa ia halaukan untuk tetap berjaga di sisi orang yang ia cintai.

 Suara-suara itu kian detik kian ramai "bakar...bakar..!!! kata-kata itu seakan menjadi yel-yel mereka. Udara malam yang dingin kini berubah menjadi panas, cahaya-cahaya merah seakan berada di mana-mana, beberapa menit kemudian suara teriakan itu hilang seketika diganti dengan suara senapan yang begitu keras, suara-suara mobil terdengar berhenti agak jauh. 

Orang-orang itu tanpa disadari telah hilang seketika, kemanakah mereka pergi tidak diketahui. Dengan siaga, sang suami mengambil si mungil dan bundanya pergi melewati pintu belakang rumah dengan langkah tenang penuh siaga. Yah..ia tahu di mana letak mobil itu berada..ia semakin dekat dengan mobil itu tanpa sadar ia telah dikepung, tetapi ia menyadari bahwa semuanya belum selesai.  

Diambilnyalah bayi dan istrinya ditempatkan pada sebuah mobil dan ia sendiri berada dibelakangnya, dengan perasaan cemas dipandangnyalah kedua orang itu air mukanya kini berkaca berlinang air mata, ya..ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya selain satu tujuan mengantarkan keduanya ke daerah perbatasan dengan selamat.

Tiga hari dua malam mereka berjalan menelusuri medan laga, dahulu  mata dihiasi indahnya alam, kini berganti diselimuti dengan kepulan asap memerihkan mata. Bayangan akan indahnya kota hilang lenyap dari memori yang pernah terukir di dalamnya. Kini hanyalah sebuah senapan laras panjang yang menemani dirinya dengan beribu pertanyaan antara hidup dan mati. Ia tidak pernah bermimpi untuk hadir di negeri ini  dan mengalami kekejian manusia yang tidak bermartabat, namun.. apalah arti sebuah mimpi yang tidak diimpikan namun terjadi sekarang dan saat ini.

Laju mobil semakin cepat,membuat debu jalanan bertebaran sejadi-jadinya. Sang suami terus memandang kekasih dan si mungil detik demi detik tuk memastikan keduanya baik-baik saja. Saat yang dinantikan kini telah tiba, gerbang perbatasan telah terlihat didepan mata, hati yang takut kembali tersambar kebahagiaan yang semenjak suram, menembus batas kerinduan   jiwwa, bahwa mereka masih dapat meniti hidup bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun