Saya selalu bilang pada diri saya sendiri, pada sepasang kaki yang ligamennya pernah robek ini, "jika Tuhan kasih kita umur lebih dari umur nabi, nanti bawa saya menua di kampung saja ya!"
Sebuah rencana memang tak harus muluk-muluk. Lagi pula saya bukan koperasi yang rencana tahunannya selalu berubah dan ada target-target tertentu. Â Â Â
Hidup dan menua di kampung halaman itu layaknya sebuah cita-cita, di samping cita-cita memenangkan hati seorang perempuan tentu saja...
Beberapa orang bercerita tentang kerasnya kehidupan di perantauan. Mereka mengakui dipaksa tak pulang, demi meraih penghidupan yang layak di perantauan dan iming-iming pulang bikin rumah beton di kampung sendiri. Mereka terjebak.
Saya pun ikut sedih. Saya selalu bilang jika dikasih umur panjang, kalau ya, saya pun berencana dan maunya hidup menghabiskan hari tua di kampung halaman. Soal kehidupan yang layak nanti baru dipikirkan.Â
Kampung saya memang hanyalah kampung kecil. Tidak kecil-kecil amat, tidak juga kampung-kampung amat. Di sana kehidupan dan harapan dimulai.Â
Saya percaya jika pemerintahan daerah bisa mengelola masyarakat dengan baik maka 10 tahun berjalan kampung akan maju. Kelurahan jadi kecamatan. Sentra baru akan bermunculan. Mudah-mudahan.
Orang bilang di kampung tidak ada mall, atau pasar modern sejenisnya. Tidak ada bank. Tak apa, toh sudah sekian lama kita terbiasa dengan pasar tradisional. Dan belakangan pun muncul banyak bank elektronik dengan layanan transaksi non tunai yang beragam dan memudahkan.
Kalau pun tiba musim gelombang yang memaksa penyeberangan ke kota Baubau terhenti, kita masih bisa ke Lombe yang pasarnya sudah populer dari dulu.Â
Layanan perbankan pun rasanya sudah cukup baik dan sejalan dengan keperluan masyarakat kelas daerah. Jadilah tak perlu ada yang dikhawatirkan.
Penting dan tak boleh ketinggalan adalah lautnya potensial, pantai-pantai yang indah, bawah tanah yang cantik, hutan yang asri, beserta aspek-aspek tambahan lainnya untuk layak disebut kampung yang menyenangkan. Aaaada.