Kau Bisa Memilih dan Punya Kendali Mengevaluasi Hati
Alhamdulillah, puji syukur aku panjatkan kepada Tuhan YME atas nikmat yang diberikan berupa sehat secara jasmani. Betapa tidak, saya dilahirkan ke dunia 37 tahun yang lalu oleh Ibuku dalam keadaan sehat. Utuh secara jasmani, lengkap dan tidak cacat, baik fisik maupun mental. Dua di antara nikmat-nikmat luar biasa itu adalah anggota tubuh berupa kesehatan mata dan telinga.
Aku memiliki kedua bola mata yang sehat yang dapat melihat secara jelas tanpa rabun, sehingga tak perlu direpotkan alat bantu saat melihat, melirik, menengok ataupun membaca. Oleh karenanya, sebagai rasa syukur aku jaga mata ini. Bukan dengan pelindung kacamata, tapi saat ia lelah dan mengantuk, kumanja dengan isitrahat dan tidur.
Aku juga punya telinga dua, kiri dan kanan. Keduanya berfungsi dengan baik. Aku dapat mendengar suara dengan normal. Segala macam suara yang muncul masih dapat aku dengarkan dengan baik, jelas dan normal. Sebagai rasa syukurku, tak lupa dijaga dengan dibersihkan saat mandi. Aku juga tidak mendengarkan suara-suara tinggi memekik yang menyakiti gendang kupingku ini.
Ajakan untuk mensyukuri nikmat Tuhan berupa kesehatan badan mungkin menjadi hal yang mudah. Karena manusia cenderung menghindari sakit. Sehingga Dia otomatis akan menjaga dan merawatnya agar tidak berpenyakit.
Namun, mata dan telingaku ini tak dapat menembus fungsi pola pikir dan hati. Keduanya hanya sebagai organ tubuh untuk meng-input data dan informasi yang datang dari luar. Yang menerima, merespon dan mensikapi adalah pikiran dan rohani.
Inilah tantangan yang sesungguhnya. Bagaimana rasa syukur dapat mencapai relung hati. Kemudian ia diolah oleh pikiran sehingga menjadi sebuah kebaikan yang tercermin dalam perilaku dan tindakan.
Mengapa disebut sebagai tantangan? Sebab rasa iri hati, dengki, benci dan dendam akan terus ada menyeruak jiwa setiap individu. Belum lagi efek dari beberapa emosi negatif tersebut yang berdampak buruk. Efek dan dampak negatifnya di antaranya: sifat malas, "santai-santai", menunda-nunda dan cenderung menghindari masalah. Atau yang lebih buruk lagi muncul perilaku suka menjatuhkan, senang bila orang lain susah, bahkan tanpa sadar melaknat (mendoakan jelek) dengan sumpah serapah.
Aku tidak memiliki kekuasaan untuk merubah tingkah dan perbuatan orang lain yang kulihat dan kudengar yang dianggap "toxic". Itu semua di luar kendaliku dan bukan pilihan.
Kendati demikian, masih ada jalan lain yang masih bisa dipilih dan dapat dikendalikan. Aku dapat memilih hati ini untuk terbiasa merespon positif apa yang kusaksikan dan terkumandangi. Sehingga output yang berasal dari aura positif hasil olah pikir menciptakan energi semangat dan kepedulian terhadap orang lain maupun diri sendiri.
Tulisan di atas adalah penjabaran dari puisi dalam foto hasil jepretanku pagi. Berikut isi puisinya: