Hari Minggu yang lalu, ketika mempersiapkan materi untuk Live Talk Show (Radio dan YouTube) RPK FM Jakarta, saya menemukan "keunggulan" Prabowo dari Jokowi pada 100 Hari Awal Pemerintahan. Ternyata keunggulan Prabowo, karena langsung dengan "mengerjakan" Kebijakan dan Program Populis; sedangkan Jokowi, tidak.
Itu menarik. Karena Prabowo langsung menjadi top one, pemimpin Negara yang mencapai tingkat penerimaan publik (mungkin) tertinggi di Dunia pada 100 Hari Awal Pemerintahan.
Saya pun harus menelusuri Prabowo Factor itu. Dan menemukan  di Me The People oleh Nadia Urbinati. Simak ... !
Populisme merubah wajah demokrasi dan berusaha meruntuhkannya dengan mengatasnamakan jalan demokrasi. Populisme yang secara sepintas dapat dilihat sebagai gerakan politik alternatif namun apabila ditilik lebih jauh lagi, ia akan tetap menjadi oposan, bukan hanya terhadap elit politk berkuasa melainkan juga pada sistem demokrasi.
Demokrasi dapat berubah seturut fenomena populisme yang terjadi di belakangan ini di berbagai belahan dunia.
Perkembangan demokrasi dan populisme dapat berpengaruh besar dalam negara demokrasi. Namun, ada kenyataan pahit ketika kalangan pelajar dan intelektual bergabung dengan gerakan populisme.
Sebagian dari kalangan tersebut meletakkan posisi populisme sebagai bagian dari sistem demokrasi, ialah sebagai representasi mayoritas.
Namun pertanyaan yang muncul kemudian adalah, Benarkah populisme sejalan lurus dengan demokrasi? Dan, apakah kehadiran populisme justru mengancam hadirnya demokrasi?
Why, then, should we bother with populism? My answer is this: the simple fact that the term "populism" now appears so persistently, both in everyday politics and in academic publications, is reason enough to justify our scholarly attention. We study populism because populism is transforming our democracies.
Populisme merupakan ancaman bagi perkembangan demokrasi dengan mengutarakan bahwa populisme adalah fenomena yang hadir dalam usaha menggantikan seluruh bagian dari demokrasi.
Populisme mulai marak dilakukan beberapa waktu belakangan ini karena kejadian-kejadian yang monumental sekaligus mengejutkan terjadi di berbagai negara. Sebut saja aksi 212 di Jakarta, aksi protes Gilet Jaunnes di Prancis, demo Hongkong, serta penolakan pembangunan pagar batas Mexico-Amerika. Sebagian gerakan didaku sebagai populisme dan sebagian lagi mendaku dirinya sebagai populisme. Populisme pada titik ini ibarat kartu merah yang diberikan oleh masyarakat umum kepada seluruh oposisi pemerintah.