Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kesaktian Pancasila Bukan karena Pembasmian PKI

2 Oktober 2015   15:38 Diperbarui: 1 Oktober 2018   10:41 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Terbayang dalam ingatan peristiwa yang terjadi pada 50 Tahun lalu lebih satu hari. Ketika itu diriku sudah remaja dengan ingatan yang cukup tajam, suasana kelam, sunyi, dan orang dewasa di sekitarku tegang.

Rumahku, satu kompleks atau berdekatan dengan rumah jabatan Gubernur NTT, Kantor Tentara (begitu kami sebut Korem Wira Cakti NTT), RRI Kupang, Gedung Wanita, dan Bank Indonesia, terbilang wilayah aman. Namun, ada kekuatiran pada ayah-ibu, sehingga saya dan seorang adik dan kakak, harus tak sekolah, karena mereka takut kami jadi korban. Itulah sedikit rekaman, setelah mendengar siaran RRI Jakarta, yang disiarkan ulang oleh RRI Kupang, tentang kekuasaan NKRI tak lagi berada pada Presiden Soekarno.

Setelah beberapa hari berlalu, dengan sikon lampu listrik harus dibungkus kertas karbon, jaga malam, tentara lalu lalang depan rumah (karena rumah kami berhadapan persis dengan Korem), bahkan setiap hari muncul para pemuda yang berseru, berbaris, berteriak di jalan raya; di tambah lagi dengan terpaksa harus makan bulgur; akhirnya kami jadi tahu, dari percakapan orang dewasa, bahwa Komunis, dhi. Partai Komunisi Indonesia, telah melakukan percobaan kudeta, namun gagal. Kegagalan itu, karena ABRI, di bawah pimpinan May Jen Soeharto, berhasil mengusai keadaan Negara. Dan, selanjutnya ada perintah pembasmian semua unsur yang terlibat dengan kudeta yang gagal, yaitu orang-orang Komunis atau disebut PKI.

Mulai saat itulah, diriku menjadi semakin tahu bahwa, “Kakak A, Susi B, Oom C, dan Tante D, dan seterusnya, telah hilang atau ditangkap karena PKI;” diriku masih mengingat banyak nama dan kenangan terhadap mereka. Ada banyak orang, yang menjadi takut dan penuh ketakutan, karena sewaktu-waktu mereka bisa diseret dari dalam rumah, kemudian dimasukan ke dalam karung, dan selanjutnya tak pernah terlihat atau pulang.

Dan, setelah memasuki pendidikan yang lebih tinggi, ketika di SMA, semakin jelas pengatahuan tentang 1965/1966, diriku berusaha memadukan pelajaran sejarah dengan pengalaman sekitar 1965/1966, terutama tentang pembasmian PKI. Walau, terasa tidak pas atau cocok, namun hal itu tak boleh dibahas, sebab siswa harus menerima pelajaran sejarah tentang PKI dari guru; jika menolak atau membantah, maka akan dituding sebagai “anak PKI;” tuduhan yang sangat menghina, menakutkan, dan memalukan. Bahkan, pada masa itu, orang bisa menerima tuduhan penjahat dan makian, maaf, anjing dan babi, daripada disebut “dasar PKI” atau “woi lu anak PKI.”

Lalu, mengapa hingga label komunis, PKI, begitu dianggap hina, lebih rendah dari penjahat kelas berat, bahkan dari fauna yang haram? Ada banyak jawaban, namun bisa dipastikan ada satu kesamaan yaitu, PKI adalah pengkhianat bangsa dan Negara, bahkan mempunyai ajaran menolak dan anti agama-agama; PKI adalah noda bangsa yang penuh kejahatan, penuh kekegalapan, bla bla bla bla.

Sementara itu, di sisi lain dari kejahatan dan kegelapan PKI tersebut ada Pancasila; ya Pancasila, ditampilkan sebagai lambang atau ikon berhadapan dengan Komunis; di banyak tempat dan sudut kota Burung Garuda digambarkkan dengan gagah perkasa sambil menatap tajam palu arit yang lunglai tak berdaya. Tak berapa lama, mungkin tahun 1966/1967, muncul semboyan dan yel-yel Kesaktian Pancasila; semboyan dan yel yang terus menerus menjadi bagian dari kata-kata wajib pada masa itu; mungkin sama dengan kata-kata “Merdeka atau Mati” pada tahun 1945/1946. 

Ya, semua orang, dari kecil hingga dewasa, dengan irama yang sama, seakan menyatakan bahwa Pancasila penuh kesaktian, sehingga dengan “kekuatan yang ada di dalamnya” berhasil mengalahkan pengkhianatan bangsa yang terbesar yaitu PKI.

Dan atas nama Pancasila yang sakti itulah, maka kesaktiannya itu merambah masuk ke dalam tangan-tangan bersenjata mesia serta pedang; mereka pun menunjukan kesaktiannya dengan cara pembasmian semua yang dituduh PKI. Tragis memang; Pancasila menjadi sakti dan penuh kesaktian karena ada darah anak-anak bangsa yang menjadi korban keganasan dari mereka yang katanya membela Pancasila. “Pancasila yang telah menjadi sakti itu,” kemudian menjadi semacam “agama kedua” atau bahkan “memaksa agar orang Indonesia beragama,” sehingga melawan Pancasila maka sama artinya dengan masa depan suram, tak bisa menjadi PNS, Politisi, Tentara dan Polisi, bahkan kegiatan ekonominya pun di amat-amati para intel. Sekian puluh tahun, segala sesuatu diukur dengan mahir dan hafal tidaknya Pancasila. Termasuk di dalamnya, sekian juta orang kecil pemilik tanah dan lahan, jika negara "membutuhkannya" maka mereka harus rela dibayar dengan harga murah; jika tidak, maka akan diberi label "sisa-sisa PKI," dan itu bermakna, semakin tersingkir dan termaginal.

Banyak orang menjadi takut pada "Kesaktian Pancasila" yang bisa menjadikan "seorang anak bangsa" sebagai orang lan serta asing di negeri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun