Sehingga ketika terjadi pengambilalihan secara paksa, perlawanan dari rakyat pun terjadi. PDI yang dikomando oleh Megawati - Alex Litay, kemudian menjadi menjadi pelarian hingga ke Jakarta Selatan, membangun markas mereka di Lenteng Agung.
Di tempat inilah, PDI menjadi PDIP; PDI dengan dan dalam perjuangan. PDIP; ya PDIP menjadi besar setelah 1998, dan memenangkan Pemilu, namun hanya sedikit tempat bagi mereka di MPR, DPR, Kabinet.
Dan, jika Gus Dur tak "dikerjain" Amin Rais cs, maka tak ada Presiden RI bernama Megawati Soekarnoputri. Pada Pemilu 2014, PDIP pun semakin membersar. Hal tersebut, tak lepas dari kerja banyak pihak. Sayangnya, ada diantara orang PDIP yang "tak nyadar" diri.
Anggota Parlemen asal PDIP, Effendi Simbolon, Hasto Kristyanto, dan juga Trimedia Panjaitan yang meminta Presiden segera melantik Kaporli (Baru), dan lupa bahwa kini Joko Widodo “bukan lagi kader PDIP” secara mutlak, dan harus “mutlak” mendengar dan mengikuti kemauan, kehendak, keinginnan PDIP.
Joko Widodo sudah menjadi Presiden Joko Widodo, Presiden di Republik Indonesia, dan bukan di wilayah markas besar PDIP di Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Sesuai perundang-undang, sebagai Presiden, Joko Widodo harus lebih mementingkan suara rakyat dan konstitusi, bukan rengekan dari PDIP.
Selain itu, mungkin saja, anggota Parlemen dari PDIP atau PDIP secara keseluruhan, agaknya mulai angkuh; ada semacam “keangkuhan politik” pada diri PDIP karena sebagai parpol yang mempunyai kader terbanyak di Parlemen; ada 109 orang.
Hebatkah para politisi PDIP, sehingga mereka dipilih oleh rakyat!? Jika anda katakan mereka hebat! Silahkan saja. Bagi saya, tak seperti itu.
Saya harus katakan bahwa, banyaknya anggota Parlemenh asal PDIP di Parlemen, bukan “kerja mutlak” mereka. Semuanya bisa terjadi karena ada sejumlah besar relawan Jokowi (dan Jusuf Kalla) yan ingin Joko Widodo menjadi Presiden. Keinginan itu, harus didukung oleh Parpol, salah satunya adalah PDIP; jika suara PDIP tak memadai maka tak bisa mencalonkan Joko Widodo sebagai Calon Presiden.
Karena “keinginan” itu, maka semua relawan “bekerja” demi Jokowi sebagai Presiden; dan PDIP mendapat imbas dari kerja relawan; mereka seakan mendapat durian runtuh.
Berdasar itu, seharusnya tak ada tempat bagi anggota Parlemen asal PDIP yang seenaknya bicara; bicara seakan mereka paling berjasa terhadap terpilihnya Joko Widodo (dan Jusuf Kalla) sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI.
Itulah PDI P, hebat dan militan ketika masih termarginalkan dan sebagai "umat yang tertindas;" mereka bisa sebagai oposisi yang hebat.