Kutatap wajah istriku yang tersenyum wajar.  Alangkah pintarnya betina ini menciptakan berbagai skenario dan pengkondisian seolah segalanya terjadi begitu normal.  Sesuatu kerap menghalangi suara yang hendak kukeluarkan.  Saat rasa penasaran tentang siapa pria pemilik benih yang pernah dilahirkannya itu merajalela di pikiranku.  Saat itulah aku merasakan semua pembalasan terhadap perbuatan yang dahulu sering kulakukan pada anak buahku.  Rasa tidak berdaya.  Rasa tertikam dari belakang dan rasa nyeri itu lagi-lagi datang.Â
   Kutatap berkas sinar keemasan pertama yang muncul pagi itu.  Dengan sisa pendengaranku, masih kudengar suara gesekan sandal istriku.  Suara gerendel pintu yang dibuka, dan akhirnya suaranya yang terpekik pelan saat meraba tubuhku yang sudah dingin dan kaku.  "Selamat tinggal betina, selamat tinggal nestapa dan sakit," bisikku sambil melayang seperti embun yang menguap menerima hantaman pertama sinar matahari pagi.
Tamat.