Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bapakku Gila Segila-gilanya

18 Oktober 2020   18:50 Diperbarui: 19 Oktober 2020   10:00 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://res.cloudinary.com

"Kau ini ngomong apa? dosa itu urusan nanti. Bapak yang nanggung. Sekarang yang penting kamu jadi dokter" pungkas bapak.

Malam itu aku segera ingin keluar dari kamar bapak. Kakiku lemas. dadaku berdegup keras. Kepalaku pening. Segala pengetahuan dan keahlianku seolah copot berhamburan dari kepala. Aku tak bisa berpikir apapun. Surat keterangan yang menyatakan bapak benar-benar mengalami gangguan jiwa ternyata disalahgunakan.

Bapak hanya pura-pura. Bapak tidak gila. Tapi, bapak memang gila segila-gilanya. Salahku juga mengapa harus cemas ketika bapak akan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Dan, kini aku ingin pulang menemui Yulia, bercerita banyak tentang kegilaan ini.

Langkahku gontai, terhuyung-huyung ingin ambruk. Sementara diluar kamar telah berkumpul saudara-saudara yang gembira menyambut keputusan pengadilan. Hari itu pengadilan membebaskan segala dakwaan kepada bapak berdasarkan surat keterangan mengalami gangguan jiwa. Kau tahu siapa yang memaksa mengeluarkan surat ini? Ya, siapa lagi jika bukan aku sebagai anaknya. Aku berkorban dan memaksa kawan-kawan seprofesi untuk menerbitkan surat keterangan itu. Kini, aku menyesal. Sangat menyesal.

"Kau siapa ha?" tanyaku pada seorang perempuan di depan kamar bapak. Perempuan itu terisak di depanku. Aku tak mengenalnya.

"Ya ampun mas, aku Yulia mas, aku istrimu mas!" jawab Yulia dengan isak tangis.

Aku tak peduli, aku tak kenal perempuan yang merengek itu. Kulihat semua saudaraku malah menertawakanku. Daripada aku diam seorang diri, maka aku pun terbahak-bahak seperti mereka. Tergelak-gelak sampai perutku mulas. 

Melihat tingkahku, saudaraku mendekat. Tiba-tiba mereka berebut memegang lenganku. Ada pula yang menangis tanpa sebab. Aku risih. Aku terkekang. Kuhentakkan semua, aku menepis semua tangan-tangan yang menjamah tubuhku. Aku berontak. Semua kuancam agar tak mendekat.

"Kalian semua, pergi. Jangan sentuh aku!" amarahku meledak mengheningkan seisi ruangan.

"Ah, mengapa aku sangat gerah sekali. Rumah ini tiba-tiba terasa pengap" aku mulai tak nyaman. Telingaku panas dan terus berdengung tiada henti. Perlahan kutanggalkan semua baju dan celana. Setelah lepas semua pakaian, baru lega rasanya. Selain isis tak ada hambatan lagi aku melenggang keluar dari rumah yang pengap itu. “Bapakku memang gila. Gila segila-gilanya” dengung bisikan di telingaku berulangkali.

SINGOSARI, 18 Oktober 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun