Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cubitan Dibalas dengan Cubitan

12 Oktober 2020   00:43 Diperbarui: 12 Oktober 2020   19:51 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://asset.kompas.com/

Kadang Mbok Saripah hanya ngobrol dengan ibu-ibu lain di depan sekolah. Kalau ada penjual bakso atau jajanan tak lupa ia membelinya dan dimakan sendiri. Aku yang merengek minta jajan apapun selalu tak dituruti, alasannya nanti gigiku copotlah, nanti batuklah, nanti rasanya asemlah dan berbagai alasan yang membuatku bosan. Padahal setahuku ibu selalu menyelipkan kertas bergambar dari dompetnya kepada Mbok Saripah. Kertas itulah yang diberikan Mbok Saripah kepada penjual bakso dan jajanan di sekolah.

Namun pernah beberapa kali Mbok Saripah menuruti keinginanku. Itu pun dengan cara aku harus menarik-narik bajunya dulu sampai ia merunduk membungkuk. Mbok Saripah membelikan jajan yang tidak dijual di sekolahan. Biasanya di sepanjang jalan saat pulang sekolah. Setelah kucicipi ternyata rasa jajanan itu terlalu asin. Kadangkala ada yang terlalu manis, bahkan ada yang terlalu lembek dan lekas mencair. Jika mencair begini pasti aku kesulitan memegangnya, lalu tumpah ke seragamku. Setelah itu cubitan akan mendarat lagi di tubuhku.

Mau mengadu? mana ada orang dewasa percaya dengan celotehanku? anak kecil harus menerima nasib seperti ini. Orang tua sayang itu wajar. Namun orang lain apakah sama kadar kasih sayangnya? contohnya ya Mbok Saripah ini. Suka mencubit dimanapun, kapanpun dan dibagian tubuh manapun yang ia sukai.

Bel sekolah berbunyi. Aku digandeng Mbok Saripah pulang. Ia membawa payung supaya tidak kepanasan. Anehnya aku tidak merasakan keteduhan payung itu. Karena tetap kepanasan, maka kupikir sebaiknya lari kecil saja agar cepat sampai ke rumah. Kulihat teman-temanku juga begitu. Ada yang berlarian ada pula yang melompat-lompat kegirangan karena pulang.

Apa yang dilakukan Mbok Saripah? ya, dia mencubitku lagi, karena banyak kendaraan yang hampir saja mencelakaiku. Mana bisa aku berpikir seperti dia? toh, teman-temanku juga melakukan hal yang sama. Lagi pula orang yang berkendara itu harusnya lebih hati-hati jika melihat anak-anak pulang sekolah, meskipun dikawal oleh orang yang lebih dewasa.

Baiklah itu tadi cubitan saat perjalanan pulang sekolah. Sekarang, tiba di rumah dan segera ganti baju. Aku dibiasakan melepas dan memakai baju sendiri. Ya, berhasil. Aku memang bisa. Tapi, tidak demikian dengan caraku meletakkan seragam sekolah. Seragam itu berserakan di lantai. Mana bisa aku melipatnya. Apalagi mencantolkan di gantungan baju yang menempel di dinding. Gantungan itu terlalu tinggi kuraih. Parahnya lagi Mbok Saripah mengais seragamku itu seraya ngomel lalu mencantolkan seragamku di gantungan. Tak lupa sebuah cubitan tetap kurasakan.

Segera kugosok-gosok sendiri bekas cubitan itu. Harapanku agar perihnya mereda dan aku segera bermain kembali. Apapun permainannya yang penting bermain dan bermain. Dunia kanak-kanak memang menyenangkan. Sama persis dengan Mbok Saripah yang senang menonton drama Korea. Saking senangnya dia tak menggubris saat mainan kutumpahkan dan berserakan lagi. "Kali ini aman" desisku. 

"Makan sendiri ya? sudah besar masak disuapi" kata Mbok Saripah seraya menyodorkan sepiring nasi dengan lauk telur mata sapi dan beberapa potong sosis. Nasi hangat dengan hiasan kecap diatasnya itu kulahap dengan cepat. Ada permainan yang ingin kulanjutkan kembali. Pikiranku masih fokus dengan permainan yang terjeda makan. Mumpung Mbok Saripah tidak mencubitku. Maka, saking terburu-burunya beberapa nasi tercecer dan membuat lengket di lantai. Mulutku juga belepotan makanan.

"Huuh memang kamu ya, selalu bikin kotor" gerutu Mbok Saripah disertai cubitan kecil mendarat di telapak tanganku yang masih menyisakan butiran nasi.
"Au....dicubit lagi" gumamku segera menyingkir untuk cuci tangan di dapur.

Aku mencoba membuka kran air. Untuk ukuran anak, tuas kran itu terasa berat diputar. Mungkin sengaja dibuat demikian atau karena alasan apa aku sendiri tak paham. Maklum, kanak-kanak bukan memikirkan masalah tuas kran yang berat. Tapi, bagaimana merasakan air sebagai mainan yang menyenangkan. Membayangkan apapun dengan air.

Kran terbuka. Cipratan air terbang kemana-mana. Tanganku melempar-lempar kucuran air itu ke atas. Lalu butiran air itu jatuh kembali mengenai kepalaku. Rambutku basah, begitu juga baju yang kukenakan. Aku membayangkan hujan turun di rumah ini. Bermain air menyenangkan sekali. Dinding basah, lantai sekitar ikut basah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun