Aku terkulai lemas. Tak ada bendera putih tanda menyerah. Sebab ini bukan peperangan. Tapi, dia bersikeras tak ingin kalah. "Aku harus menang!" pekiknya. "Tebang!, tebang!"
Saat pengemis kota khyusuk mengukir pinta, aku dan kawan-kawan diangkut truk. Melintasi traffic light yang bisa bicara sendiri, "Ibu tua yang mengemis pakai baju koyak, ayo segera mundur, jangan melanggar batas marka." Maka berhembuslah angin panas sisa-sisa sengalku. Memaksa pengemis tua berbaju koyak mundur menahan sesak.
Disebuah lapangan luas, aku diturunkan. Kami saling berpandangan, ini dimana? hanya nampak dia yang sibuk mengukur sirkuit balap. Lalu memerintahkan kepada pasukannya: "Harap kalian ingat, ibukota tak pernah mengemis kemanapun, tak usah mundur, sirkuit ini harus tandus. Kita pasti menang!"
Sore harinya ada banyak truk mengangkut pengemis-pengemis, "Ayo naik semua, ini tiket untuk nonton balapan karung." Pengemis-pengemis bersuka cita diangkut ke berbagai desa tempat bapak ibuku ditanam mesra. Dia yang di lapangan balap terkekeh-kekeh, "Matilah kau pohon, pergilah kau pengemis, aku menang lagi!"
Esok hari tersiar di media, "Jabatan saja bisa pensiun, apalagi hanya pepohonan."
SINGOSARI, 23 Januari 2020