Mohon tunggu...
Ombrill
Ombrill Mohon Tunggu... Jurnalis - Videografer - Content Creator - Book Writer

Book Writer - Video Blogger - Content Creator

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Inilah Perbedaan antara "Mazhab Produksi" dan "Mazhab Redaksi" di TV

12 Juni 2018   17:28 Diperbarui: 15 Juni 2018   20:47 2723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: gourvitzcommunications.com

Dalam industri televisi, ada dua Departemen besar yang memasok program acara. Dua Depertemen yang dimaksud adalah Departemen Produksi dan Departemen Redaksi (news). Dalam tulisan ini, penulis tidak bermaksud menkerdilkan peran departemen lain yang turut berjasa dalam mewarnai layar kaca, semisal Departemen Teknik, Departement Promo, Departemen Akuisisi, maupun Departemen lain. 

Meski berkontribusi di stasiun televisi tersebut, namun Departemen Promo hanya menyuplai paket-paket promo program atau bukan memproduksi program acara dari A sampai Z. Sementara Departemen Akuisisi hanya mengakuisisi (beli) program yang dibuat oleh PH dalam maupun luar negeri.

Balik lagi ke uraian yang akan penulis paparkan mengenai Departemen Produksi dan Redaksi. Sebetulnya penulis tak nyaman menggunakan kata "mazhab". Namun, pemilihan kata ini sepertinya cocok. Sebab, penulis hendak memberikan gambaran, bahwa kerja di Departemen Produksi dan Departemen Redaksi itu berbeda. Mazab sendiri dalam bahasa Arab berarti sebuah jalan yang dilakukan dan dilewati untuk mencapai satu tujuan. Dalam Islam, tujuannya cuma satu, yakni meraih ridho Allah SWT. Makanya ada ungkapan, beda mahzab, tetapi satu tujuan.

Dalam dunia televisi, Departemen Produksi dan Departemen Redaksi itu beda "mazhab". Meski beda "mazhab", tapi tujuannya tetap satu, yakni meraih rating dan share besar. Mau program yang tayang dibuat oleh produksi, atau redaksi, yang penting share dan rating stasiun tv tersebut bisa mengalahkan stasiun TV kompetitor. Sebagaimana sebagian dari Anda tahu, rating dan share akan menjadi indikator bagi para pengiklan mensponsori program tersebut.

Di bawah ini, ada sejumlah perbedaan "mazhab" produksi dan redaksi yang penulis catat. Perbedaan-perbedaan ini tentu bukan asal, karena penulis telah meneliti selama beberapa tahun ini, tepatnya selama penulis masih bekerja di beberapa TV dan menjadi tim produksi dan juga tim redaksi.

Oh iya, sebetulnya ada di sebagian televisi, redaksi di bawah payung besar, yakni sebuah divisi, bukan cuma departemen. Departemen biasanya membagi Redaksi Buletin (hard news) dan Redaksi Non-buletin (soft news). Begitu juga produksi. Ada stasiun televisi yang meletakkan produksi di bawah payung divisi. Namun, dalam tulisan ini, supaya levelnya sama, penulis mendudukan produksi dan redaksi di bawah departemen.

1. Kru maksi, kru mini

Setiap produksi program acara, tim produksi selalu berlimpah jumlahnya. Bukan cuma Produser dan Cameraman, tetapi ada kru lain, sedikitnya ada Production Asistance (PA), Scriptwriter, Lighting, Audioman. Mau program di luar (outdoor) maupun di studio (indoor), jumlah kru produksi pasti banyak.

Sebagai contoh, program outdoor, yakni reality show, travelling, maupun sekadar interview dengan narasumber. Jumlah kru produksi harus segubrak. Makin banyak kalau harus ada Host atau Presenter program tersebut, plus bintang tamu atau narasumber. Ada yang beralasan, jumlah kru produksi yang banyak tersebut tujuannya agar, tanggung jawab bisa dibagi-bagi. Alasan lain, supaya look dari program tersebut terlihat artistik, kreatif, dan glamour.

Sementara, jumlah kru redaksi mini alias terbatas. Kru redaksi bisa pergi untuk bikin program travelling atau interview, cuma dengan tiga orang, yakni Produser, Cameraman (Campers), maupun Lightingman. Bahkan, untuk bikin program travelling bisa berangkat cuma berdua: Produser dan Cameraman. 

Selain bertanggung jawab sebagai penanggungjawab program, saat syuting, Produser juga menjadi Reporter atau interviewer, dan pembuat naskah. Sementara Cameraman bertugas menjadi pengarah visual, audioman, maupun lightingman. Departemen Produksi selalu memakai "mazhab" kru maksimal, sementara Departemen Redaksi menggunakan "mazhab" mempekerjakan kru minimal.

Itulah kenapa beberapa tahun ini, stasiun televisi nasional banyak merekrut calon-calon broadcaster muda yang nantinya memiliki skill produksi dan redaksi. Artinya, mereka siap di-rolling (dipindah ke Departemen Produksi dan juga Departemen Redaksi). Tenaga-tanaga fresh ini dikaryakan untuk bisa menjadi tenaga produksi, tetapi siap menjadi Video Journalist (VJ) ketika di-rolling di Departement Redaksi.

Tujuannya cuma satu, supaya efektif dan efisiensi biaya produksi. Biaya produksi apa? Biaya produksi akomodasi maupun uang dinas. Tentu saja, sungguh menyenangkan Departemen Keuangan jika biaya produksi bisa ditekan.

Namun, pengalaman penulis, mereka yang sanggup melakukan kerja di produksi dan redaksi biasanya adalah mereka yang berlatar belakang produksi. Sebab, produksi terbiasa dengan program-program single maupun multicamera (event besar, event kecil), di mana dalam program-program tersebut ada sejumlah pekerjaan yang beririsan dengan tugas redaksi. Membuat liputan untuk video taped (VT), misalnya.

Meski kadang tidak se-indepth naskah redaksi, namun teman-teman berlatar belakang produksi sudah terbiasa melakukan tugas ini. Meliput di suatu lokasi untuk ambil footage, atau menginterview narasumber, di mana kedua VT tersebut untuk memperkuat visual dalam konsep acara yang dibuat.

Berbeda dengan tim berlatar belakang produksi, mereka yang berlatar belakang redaksi kebanyakan gagap ketika di-rolling untuk meng-handle acara yang dibuat Departemen Produksi. Redaksi tak terbiasa mempersiapkan program acara, khususnya studio, dari A sampai Z. Dari mulai membuat gambar set, membuat rundown show, membuat gimmick show, dan aneka persiapan teknis lain. Redaksi hanya terbiasa memproduksi berita (liputan, membuat naskah berita, editing dan syuting/siaran, maupun mengisi suara).

2. Miskin tim riset, menang bikin gimmick

Produksi memang punya Scriptwriter atau biasa dikenal dengan tim kreatif, tetapi tidak punya tenaga riset. Lho, apa bedanya Scriptwriter dan riset? Bukankah Scriptwriter juga wajib meriset? Idealnya begitu, tetapi realitanya tidak semuanya begitu. Mayoritas tim kreatif di produksi jago untuk urusan bikin gimmick atau kreativitas-kreativitas dalam sebuah syuting produksi. Namun kalau urusan riset meriset, mohon maaf, penulis harus katakan, tim kreatif produksi miskin meriset.

Itulah beda "mahzab" di produksi dan redaksi. Jujur harus penulis katakan, redaksi terdiri dari tim tangguh dalam meriset. Oleh karena tidak punya tim kreatif, sebelum melakukan produksi, seorang Produser harus meriset dengan detail. Riset apa? Riset content program yang akan disyuting dan juga narasumber. 

Misal hendak membuat program travelling. Produser harus tahu lokasi-lokasi yang akan diambil, hal-hal unik di sana, maupun siapa narasumber yang layak diwawancarai. Memang, kelihatannya tim produksi akan meriset ini, tetapi detail apa yang diriset akan terlihat pada naskah program. Sementara, produksi tak perlu detail. Yang penting diperbanyak gimmick, baik gimmick yang dilakukan oleh Host atau Selebritis yang diajak sebagai tamu. Intinya, program travelling yang dibuat tim produksi dan tim redaksi jauh beda.

Dalam program atau paket berita yang dibuat di tim redaksi memang harus akurat data dan infonya. Jika tidak akurat, maka content dianggap hoax. Kehatian-hatian redaksi ini jelas, karena tidak ingin image stasiun TV tersebut hancur, karena menyebar berita hoax. Ya, meski ada juga paket berita yang akhirnya ditayangkan sebelum melakukan verifikasi terlebih dahulu.

Nah, metode riset redaksi kadang tak cuma mengandalkan situs-situs di internet, malainkan mencari via buku-buku, majalah, atau melakukan pre-interview ke sejumlah narsumber. Setelah mendapat banyak sumber, barulah sang Reporter yang juga bertanggung jawab sebagai penulis naskah, membuat naskah.

Dalam "mahzab" produksi, riset tidak selalu sampai membaca buku, apalagi pre-interview. Mayoritas cukup berselancar di dunia maya. Jika nanti di lapangan ada perkembangan dari narasumber, maka bisa dimasukkan ke naskah. Jika dalam pencarian data tidak banyak, biasanya tim kreatif lebih suka bermain gimmick. Cara memperpanjang durasi dengan cara membuat gimmick. Sementara, narasi pada visual acara bukan info-info sebagaimana naskah redaksi, melainkan narasi soal gimmick plus kejadian-kejadian yang dialami oleh Host atau Selebritis yang ada di acara tersebut.

Penulis tidak mengatakan gimmick itu tidak penting, lho. Gimmick penting, tetapi content berupa info-info yang sangat dibutuhkan pemirsa tentu juga penting. Oleh karena itu, perpaduan antara gimmick dan content makin memperkaya sebuah program.

3. Big and low budget

Setiap produksi, apalagi produksi besar seperti misalnya ulang tahun stasiun televisi, pasti mengabiskan biaya produksi yang besar (production cost). Dari jumlah kru saja sudah bisa menghitung, apalagi dari content program yang dibuat, pasti sudah bisa ketebak. Itulah "mahzab" produksi.

Produksi selalu memakai konsep glamour, "wah". Selain tata panggung yang aduhai, tim produksi, dalam hal ini Produser, selalu ingin menampilkan tata cahaya yang keren. Ada efek lighting yang menakjubkan. Belum cukup itu, sebagai gimmick, Produser juga menyetujui tim kreatif yang membuat gagasan untuk menyewa LED atau videotron sebagai background set. Ini baru membicarakan soal teknis, belum bicarakan tentang content, di mana saat produksi, Executive Producer (EP) men-ACC tim produksi untuk mengundang talent-talent yang honornya selangit (baca: muahaaal).

Di redaksi, Pemred juga seringkali menugaskan talent (dalam bahasa redaksi narsum) harus kelas A. Namun, talent kelas A di redaksi tentu harganya tidak selangit. Sebagai contoh, honor mengundang Raffi Ahmad dengan Prof Mahfud MD tentu beda. Meski Prof Mahfud termasuk dalam talent kelas A, harganya tentu sangat jauh dengan Raffi. Ingat, kualitas talent tidak mempengaruhi honor. Begitulah perbedaan "mahzab". Meski talent di "mahzab" produksi cuma melucu, namun honornya sangat tinggi.

Tahukah Anda? Ada stasiun televisi yang bikin acara dengan big budget, tetapi pendapatannya "buntung" (baca: rugi). Ada talkshow yang dikemas luar biasa, set, lighting, dll berbiaya Rp 2 miliar, tetapi cuma mentok mendapat dana dari sponsor senilai Rp 1 miliar. Ada juga stasiun TV yang membuat variety show dengan mengundang penyanyi dari luar negeri dan penyanyi-penyanyi dalam negeri kelas A, di mana total dana produksi senilai di atas Rp 2 miliar. Namun, stasiun televisi yang selalu membuat produksi big budget ini cuma untung sekitar Rp 500 jutaan.

Beda dengan "mahzab" redaksi. Rata-rata, biaya produksi yang diminta tim redaksi tidak mahal. Ya, seperti contoh di atas, bahwa kualitas redaksi bukan diukur dari efek lighting yang glamour atau tata panggung yang luar biasa. Kualitas redaksi diukur dari content yang in-depth (jika programnya talkshow) atau info detil yang dibutuhkan bagi pemirsa (jika program travelling atau sejenisnya), dan munculnya talent kelas A itu tadi. Redaksi baru mahal, ketika harus menggunakan teknologi dalam siarannya. Menggunakan SNG, misalnya.

Ketika breaking news, Pemimpin Redaksi (Pemred) pasti akan menugaskan EP dan Produser untuk meng-handle produksi berita live dengan semua fasilitas yang ada. SNG diberangkatkan ke beberapa titik, lalu jumlah Reporter dikaryakan ke beberapa daerah, dan beberapa narasumber diundang ke studio. Itulah cost yang dibutuhkan redaksi saat breaking news atau live report sebuah event.

4. Ego pada "mazhab"

Meski satu tujuan, dua "mazhab" yang berbeda ini memiliki ego masing-masing. Selama penulis berkerja di TV-TV mainstream, ego ini tampak jelas. Di televisi berbasis hiburan, Departemen Produksi seperti di atas angin. "Mazhab"-nya memiliki level yang tinggi atau kasta tinggi. Sebaliknya, di televisi berbasis berita, "mazhab" produksi dianggap kelas rendah.

Kenapa di televisi hiburan "mazhab" produksi tertinggi? Singkatnya gini, bahwa pemilik layar itu dianggap Departemen Produksi. Mayoritas program acara, dibuat oleh tim produksi. Padahal, dari 24 jam siar, belum tentu produksi menyumbang program separuhnya atau 50% atau 12 jam.

Sebab, di antara program-program produksi, ada juga program akuisisi. Apa itu? Yakni program yang dibeli oleh bagian Programming. Baik beli dari PH luar negeri (misal: film box office, kartun animasi, dll), maupun beli dari PH dalam negeri (misal: sinetron stripping, FTV, dll). Kemampuan in-house production (produksi sendiri di stasiun tv tersebut) berat untuk mencapai 50%.

Selain menganggap tim produksi banyak berkontribusi di layar, juga sebagai penggerak "mesin uang". Maksudnya? Gara-gara tim produksi membuat program yang keren, maka sponsor berdatangan untuk beriklan di program itu. Ujung-ujungnya, stasiun televisi tersebut revenue besar dan memberikan kesejahteraan bagi karyawan. Contoh program Pesbukers di ANTV. Tidak mungkin tim yang mengerjakan acara tersebut dari Departemen Redaksi. Nah, oleh karena Pesbukers berhasil meraih rating-share besar dan mengundang para pengiklan, maka dianggap hal tersebut menjadi jasa dari Departemen Produksi.

Masih ingat program Yuk Keep Smile (YKS) di Trans TV? Program ini dahulu menjadi "mesin uang" bagi Trans TV. Betapa tidak, program stripping ini berhasil memakmurkan para karyawan di televisi tersebut, bahkan sebagai profil dari iklan di YKS diinvestasikan ke usaha-usaha lain di kerajaan bisnis Trans Corp. Nah, yang membuat "mesin uang" itu berjalan adalah Departemen Produksi, bukan Departemen Redaksi. Tak heran, ego "mahzab" pun di sini berlaku.

5. Kolaborasi 2 "mazhab"

Memang, ada perbedaan "mazhab" yang signifikan dari Departemen Produksi dan Departemen Redaksi. Namun sesungguhnya, mereka adalah dua departemen besar yang bisa saling menunjang dan berkolaborasi dengan baik. Artinya, dua "mazhab" ini jika disatukan, bagai sebuah kekuatan besar yang dimiliki stasiun tv tersebut untuk siap berperang melawan kompetitornya.

Program Mata Najwa, baik saat di Metro TV maupun di Trans 7, tidak akan punya kekuatan besar, jika antara tim produksi dan tim redaksi tidak berkolaborasi. Kekuatan Mata Najwa adalah content. Najwa Shihab (selanjutnya Nana) memiliki tim riset yang kuat. Tim ini adalah orang-orang berlatar belakang redaksi. Meski Nana sendiri kemudian juga meriset, namun tim riset ini memberikan info-info, maupun data-data dari hasil pencarian tim riset tersebut.

Kekuatan tim redaksi pada Mata Najwa tidak akan "bunyi" jika tidak ada orang-orang yang memiliki kamampuan produksi. Ada yang memiliki kemampuan kreatif, membuat gimmick, mendesain set, maupun PD yang memberikan gagasan dalam blocking Nana (in-out on stage), efek lighting, maupun kemampuan teknis produksi lain.

Ya, setidaknya ada production assistance yang membantu untuk masalah teknis show. Jarang sekali, orang berlatar belakang redaksi yang memiliki kemampuan teknis produksi detail di event besar, sebagaimana dimiliki oleh tim dari produksi. Makanya, kadang-kadang mereka (baca: Produser) yang berlatar belakang redaksi agak gerah di-rolling ke produksi. Sebaliknya mereka yang sudah punya passion ke produksi, akan gerah masuk ke "mahzab" redaksi. Satu-satunya cara, ya berkolaborasi.

Nah, kolaborasi dari tim produksi dan tim redaksi inilah yang penulis katakan tadi menjadi kekuatan luar biasa. So, meski beda "mazhab", tak perlu memunculkan ego. Sebab, tujuannya cuma satu, yakni berperang lawan TV lain via program acara.

Salam persatuan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun