Mohon tunggu...
Ombrill
Ombrill Mohon Tunggu... Jurnalis - Videografer - Content Creator - Book Writer

Book Writer - Video Blogger - Content Creator

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Inilah Perbedaan antara "Mazhab Produksi" dan "Mazhab Redaksi" di TV

12 Juni 2018   17:28 Diperbarui: 15 Juni 2018   20:47 2723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: gourvitzcommunications.com

Setiap produksi, apalagi produksi besar seperti misalnya ulang tahun stasiun televisi, pasti mengabiskan biaya produksi yang besar (production cost). Dari jumlah kru saja sudah bisa menghitung, apalagi dari content program yang dibuat, pasti sudah bisa ketebak. Itulah "mahzab" produksi.

Produksi selalu memakai konsep glamour, "wah". Selain tata panggung yang aduhai, tim produksi, dalam hal ini Produser, selalu ingin menampilkan tata cahaya yang keren. Ada efek lighting yang menakjubkan. Belum cukup itu, sebagai gimmick, Produser juga menyetujui tim kreatif yang membuat gagasan untuk menyewa LED atau videotron sebagai background set. Ini baru membicarakan soal teknis, belum bicarakan tentang content, di mana saat produksi, Executive Producer (EP) men-ACC tim produksi untuk mengundang talent-talent yang honornya selangit (baca: muahaaal).

Di redaksi, Pemred juga seringkali menugaskan talent (dalam bahasa redaksi narsum) harus kelas A. Namun, talent kelas A di redaksi tentu harganya tidak selangit. Sebagai contoh, honor mengundang Raffi Ahmad dengan Prof Mahfud MD tentu beda. Meski Prof Mahfud termasuk dalam talent kelas A, harganya tentu sangat jauh dengan Raffi. Ingat, kualitas talent tidak mempengaruhi honor. Begitulah perbedaan "mahzab". Meski talent di "mahzab" produksi cuma melucu, namun honornya sangat tinggi.

Tahukah Anda? Ada stasiun televisi yang bikin acara dengan big budget, tetapi pendapatannya "buntung" (baca: rugi). Ada talkshow yang dikemas luar biasa, set, lighting, dll berbiaya Rp 2 miliar, tetapi cuma mentok mendapat dana dari sponsor senilai Rp 1 miliar. Ada juga stasiun TV yang membuat variety show dengan mengundang penyanyi dari luar negeri dan penyanyi-penyanyi dalam negeri kelas A, di mana total dana produksi senilai di atas Rp 2 miliar. Namun, stasiun televisi yang selalu membuat produksi big budget ini cuma untung sekitar Rp 500 jutaan.

Beda dengan "mahzab" redaksi. Rata-rata, biaya produksi yang diminta tim redaksi tidak mahal. Ya, seperti contoh di atas, bahwa kualitas redaksi bukan diukur dari efek lighting yang glamour atau tata panggung yang luar biasa. Kualitas redaksi diukur dari content yang in-depth (jika programnya talkshow) atau info detil yang dibutuhkan bagi pemirsa (jika program travelling atau sejenisnya), dan munculnya talent kelas A itu tadi. Redaksi baru mahal, ketika harus menggunakan teknologi dalam siarannya. Menggunakan SNG, misalnya.

Ketika breaking news, Pemimpin Redaksi (Pemred) pasti akan menugaskan EP dan Produser untuk meng-handle produksi berita live dengan semua fasilitas yang ada. SNG diberangkatkan ke beberapa titik, lalu jumlah Reporter dikaryakan ke beberapa daerah, dan beberapa narasumber diundang ke studio. Itulah cost yang dibutuhkan redaksi saat breaking news atau live report sebuah event.

4. Ego pada "mazhab"

Meski satu tujuan, dua "mazhab" yang berbeda ini memiliki ego masing-masing. Selama penulis berkerja di TV-TV mainstream, ego ini tampak jelas. Di televisi berbasis hiburan, Departemen Produksi seperti di atas angin. "Mazhab"-nya memiliki level yang tinggi atau kasta tinggi. Sebaliknya, di televisi berbasis berita, "mazhab" produksi dianggap kelas rendah.

Kenapa di televisi hiburan "mazhab" produksi tertinggi? Singkatnya gini, bahwa pemilik layar itu dianggap Departemen Produksi. Mayoritas program acara, dibuat oleh tim produksi. Padahal, dari 24 jam siar, belum tentu produksi menyumbang program separuhnya atau 50% atau 12 jam.

Sebab, di antara program-program produksi, ada juga program akuisisi. Apa itu? Yakni program yang dibeli oleh bagian Programming. Baik beli dari PH luar negeri (misal: film box office, kartun animasi, dll), maupun beli dari PH dalam negeri (misal: sinetron stripping, FTV, dll). Kemampuan in-house production (produksi sendiri di stasiun tv tersebut) berat untuk mencapai 50%.

Selain menganggap tim produksi banyak berkontribusi di layar, juga sebagai penggerak "mesin uang". Maksudnya? Gara-gara tim produksi membuat program yang keren, maka sponsor berdatangan untuk beriklan di program itu. Ujung-ujungnya, stasiun televisi tersebut revenue besar dan memberikan kesejahteraan bagi karyawan. Contoh program Pesbukers di ANTV. Tidak mungkin tim yang mengerjakan acara tersebut dari Departemen Redaksi. Nah, oleh karena Pesbukers berhasil meraih rating-share besar dan mengundang para pengiklan, maka dianggap hal tersebut menjadi jasa dari Departemen Produksi.

Masih ingat program Yuk Keep Smile (YKS) di Trans TV? Program ini dahulu menjadi "mesin uang" bagi Trans TV. Betapa tidak, program stripping ini berhasil memakmurkan para karyawan di televisi tersebut, bahkan sebagai profil dari iklan di YKS diinvestasikan ke usaha-usaha lain di kerajaan bisnis Trans Corp. Nah, yang membuat "mesin uang" itu berjalan adalah Departemen Produksi, bukan Departemen Redaksi. Tak heran, ego "mahzab" pun di sini berlaku.

5. Kolaborasi 2 "mazhab"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun