Boleh dibilang, Kompas TV menjadi televisi pertama yang membuat acara kompetisi yang memilih komika stand up comedy terbaik di televisi. Melalui acara Stand Up Comedy Indonesia (SUCI), Kompas TV memilih komika-komika terbaik di Indonesia. Pada 2015 ini, SUCI baru saja menyelenggarakan musim ke-5, yang dimenangkan oleh Muhammad Rizki Rakelna alias Rigen dari Surabaya.
Adalah Pandji Pragiwaksono yang menjadi pencetus acara SUCI di Kompas TV pada paruh 2011. Gagasan pria ini untuk menampilkan stand up comedy di televisi kemudian mendapat sambutan dari Indra Yudhistira. Kala itu Indra tercatat sebagai Direktur Program dan Produksi Kompas TV. Oleh karena sangat membantu, Pandji menampatkan Indra sebagai sosok yang “membumikan” stand up comedy di tanah air, selain almarhum Taufik Savalas, Ramon Papana, Iwel Wel, Raditya Dika, dan Agus Mulyadi (Metro TV).
Setelah hijrah ke Indosiar, rupanya Indra “gerah”. Ia ingin kembali menggarap acara yang melibatkan komika-komika tanah air, sebagaimana SUCI. Bukan sekadar show sebagaimana Metro TV, konsepnya tetap kompetisi. Lalu, kata “academy” yang sudah menjadi brand acara-acara kompetisi di Indosiar pun diambil. Walhasil, lahirlah Stand Up Comedy Academy. Apakah Stand Up Comedy Academy bisa menyangi SUCI (Kompas TV) atau Stand Up Comedy Show (Metro TV)?
Jujur, cukup berat menjawab pertanyaan tersebut, tetapi tentu bisa diprediksi dengan menganalisa beberapa indikator. Namun, sebelum menyimpulkan analisa, ada baiknya penulis mengajak Anda berkilas balik terlebih dahulu. Sebelum Stand Up Comedy Academy, Indosiar sudah membuat acara yang menggunakan nama ‘academy’. Terakhir adalah D’Academy. D’Academy adalah ajang pencarian bakat penyanyi dangdut. Acara yang pertama kali tayang pada 3 Februari 2014 ini sempat “mengalahkan” rating-share Indonesian Idol yang dirilis AC Nielsen.
Saat dua acara ini mengadakan pertunjukan pada akhir Februari 2014. Konser Nominasi D’Academy meraih rating 4.8 dan share 19.9%, sementara Indonesian Idol hanya meraih rating 3.4 dan rating 17.5%. “Keberhasilan” D’Academy kabarnya karena racikan antara drama di ajang kompetisi dan komentar juri, ada juga unsur infotainment yang dimasukkan di acara ini.
Penulis tak perlu lagi mengomentari drama pada kompetisi dan komentar juri, karena Anda pasti sudah tahu mengapa jadi menarik. Penulis cuma berkomentar mengenai unsur infotainment yang menjadi kekuatan show acara D’Academy. Di ajang ini, para Host diminta untuk mengungkap kehidupan pribadi para peserta sampai sang juri. Bukan kehidupan prestasi, tetapi gosip-gosip ala infotainment. Meski terlihat out of topic dari konsep sebuah acara pencarian bakat, tapi unsur infotainment seperti itu justru disukai para penonton.
Jauh sebelum D Academy, ada Akademi Fantasi Indosiar (AFI). AFI bukanlah produk asli in house Indosiar. Ajang pencarian bakat menyanyi ini diadaptasi dari acara La Academia di Meksiko. Setelah sukses tayang di Malaysia, Le Academia diadaptasi di Indonesia dengan nama AFI.
AFI 1 dan AFI 2 berhasil meraih kesuksesan. Setidaknya terlihat dari perlehan rating di Grand Final AFI 1 yang meraih TVR 18.7 dan share 50,4%. Artinya, ada 50-an persen penonton televisi yang menyaksikan Grand Final AFI 1. Sementara Grand Final AFI 2 meraih TVR 18.9 dan share 54%. Namun, perolehan gila-gilaan tersebut tak terjadi lagi di AFI 3, 4, dan seterusnya. Meski sejak AFI ke 3 sudah tak sesukses dengan AFI 1 dan 2, Indosiar tetap mencari peruntungan dari ajang pencarian bakat ini. Ratingnya tak mampu mengalahkan Indonesian Idol maupun The Voice.
Kini, Indosiar bakal mencari peruntungan baru lagi, dengan membawa nama ‘academy’, yakni Stand Up Comedy Academy. Memang, kesuksesan yang diraih D’ Academy atau “keterpurukan” AFI tak bisa dibandingkan dengan Stand Up Comedy Academy. Kenapa? Meski berkonsep kompetisi, tetapi ketiga acara ini beda segmen. Namun, Indosiar sangat berpeluang meraih penonton.
Analisa yang penulis ambil adalah dari daily audience share market all yang dimiliki Indosiar. Saat ini televisi yang bermarkas di Daan Mogot, Jakarta Barat ini sangat baik. Data AC Nielsen per 3 September 2015, Indosiar meraih share (TVS) 14,1. Indosiar bersaing ketat dengan SCTV yang berada di peringkat ke-1 dengan TVS 15,4. Baru setelah kedua televisi itu ada pemain lama, yakni RCTI dengan TVS 13,2 dan ANTV dengan TVS 9,2.
Tayangan D Academy 2 yang tayang pukul 18:22-23:59 WIB sangat membantu mengambil penonton televisi dari televisi pesaing. Oleh karena itu, Stand Up Comedy Academy sangat berpeluang meraih kesuksesan merebut para penggemar komika tanah air.
Analisa lain, komika yang muncul di Stand Up Comedy Academy sebagian besar adalah “lulusan” SUCI atau pernah tampil di Stand Up Comedy Show Metro TV. Artinya, para komika ini sudah punya banyak penggemar. Sebut saja Yudha Keling, Benidictivity, Newendi, Ricky Wattimena, maupun Lolox. Komika-komika tersebut menjadi peserta di Stand Up Comedy Academy 2015 ini.
Stand Up Comedy Academy ini rencananya akan ditayangkan stripping dan tidak live. Taping dilakukan di studio 1 Indosiar di Daan Mogot. Sebagian dari Anda pasti sudah tahu kenapa tidak live? Meski tidak live, konsepnya tetap live on taped atau direkam tanpa ada retake. Acara ini tayang setiap Senin-Kamis.

Barangkali sebelum mengakhiri tulisan, penulis dan sejumlah penikmat stand up comedy berharap, kompetisi di Stand Up Comedy Academy ini akan melahirkan komika-komika yang cerdas. Materi lucu, cerdas, tetapi tanpa blue materials, khususnya materi SPA: Seks, Pornografi, dan Agama. Setidaknya hal tersebut menjadi pesan penulis untuk para juri yang akan memilih komika terbaik di Stand Up Comedy Academy ini. Kebetulan yang bertindak jadi juri tetap adalah Abdel, dan pelawak Eko Patrio. Sementara ada juri tamu, yakni Pandji, Raditya Dika, dan Ernest, yang masing-masing bergantian menjadi juri.
Materi SPA seperti apa yang penulis maksud? Banyak. Kalo tetang seks dan pornografi, barangkali tak perlu diceritakan. Penulis hanya mencontohkan materi agama. Beberapa kali penulis menyaksikan ada komika yang menjadikan lafadz al-Qur’an sebagai bahan guyonan. Padahal, agama tidak pantas dijadikan bahan olok-olok. Ironisnya, bukan cuma lafadz al-Qur’an, kadang materi mengenai Malaikat maupun Nabi juga tak luput dari guyonan.
Mungkinkah materi yang dibawakan komika tanpa blue materials? Harusnya mungkin. Penulis percaya, pasti komika kita bisa melakukan itu. Sebab, beberapa komika -yang tak perlu penulis sebut namanya- sudah membutikan. Mereka tampil “pecah” tanpa mengumbar materi vulgar seputar SPA.
Salam Cerdas!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI