Kehadirannya selalu dirindukan. Ketika di kelas membuat siswa merasa nyaman. Di luar kelas sosoknya menjadi idola. Guru benar-benar bisa digugu dan ditiru. Itulah gambaran ideal sosok guru yang diharapkan.
Saat ini mungkin sudah tidak ada lagi guru yang menggunakan pendekatan catat buku sampai habis (CBSA). Guru tinggal masuk kelas, siswa disuruh mencatat, terus latihan dan dikumpulkan.
Menekuni profesi sebagai guru tidak semudah itu. Tugas guru tidak hanya mengajar tapi juga harus mengevaluasi, menganalisis hasil eveluasi hingga melakukan tindak lanjut.
Di akhir semester guru juga disibukkan dengan pengerjaan input nilai pada aplikasi e-rapor. Dengan demikian semua guru dituntut melek IT.
Namun kenyataannya, teknolgi yang seharusnya memudahkan kadang malah menghambat. Belum semua guru melek IT, terutama guru-guru tua. Ketika guru diminta input nilai pada aplikasi e-rapor terpaksa harus meminta bantuan orang lain. Terpaksa pekerjaan itu dilimpahkan pada operator sekolah.
Namun, yang menjadi masalah ketika batas waktu pembagian rapor sudah sangat mepet ternyata masih ada guru yang belum setor nilai kepada operator atau admin. Padahal pekerjaan input nilai cukup memakan waktu. Belum lagi ketika ada kendala pada proses pencetakan. Jumlah printer terbatas, printer ngadat, dan lain-lain. Â Â Â Â Â
Untuk mengatasi hal tersebut kuncinya guru harus melaksanakan tahapan penilaian secara konsisten. Tahapan penilaian hasil belajar dimulai dengan merencanakan penilaian, menyusun instrumen, melaksanakan penilaian, mengolah, dan memanfaatkan, serta melaporkan hasil penilaian.
Namun kadang tahapan-tahapan itu tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kadang ada guru yang menempuh jalan pintas karena tidak mau repot. Akibatnya ketika dituntut untuk segera menginput nilai di e-rapor serasa dikejar-kejar. Padahal e-raport merupakan muara dari proses penilaian yang dilakukan pada seluruh proses pada satuan pendidikan. E-rapor merupakan wujud pertanggunjawaban sekolah kepada orang tua.