Mohon tunggu...
Rokhman
Rokhman Mohon Tunggu... Guru - Menulis, menulis, dan menulis

Guru SD di Negeri Atas Awan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Mengantarkan Anak Selamat dan Bahagia

6 November 2022   10:29 Diperbarui: 6 November 2022   10:38 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : koleksi penulis

Tulisan ini saya delegasikan untuk memenuhi Tugas 1.1.a.8. Koneksi Antar Materi- Kesimpulan dan Refleksi Modul 1.1. Jika teman-teman  CGP lainnya mampu membuat video yang bagus-bagus saya baru bisa membuat artikel sederhana ini.

Hampir bisa dipastikan guru yang mendaftar sebagai Calon Guru Penggerak (CGP) berharap bisa lolos seleksi. Selanjutnya bisa mengikuti pendidikan, dinyatakan lulus, dan berhak menyandang predikat sebagai guru penggerak.

Namun hal sebaliknya justru terjadi pada diri saya. Sejak awal mendaftar, hati kecil saya berharap agar "tidak lolos" seleksi program ini. Mengapa? Karena saya ikut mendaftar sebagai CGP tak lebih untuk menaati perintah atasan. Akibatnya, saya sudah takut bayangan akan beratnya tugas-tugas yang harus dijalani sebagai guru penggerak.

Kekhawatiran itu memicu berbagai spekulasi negatif yang berkecamuk dalam benak saya, Apakah saya mampu? Apakah saya bisa? Dan ... masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang menghantui pikiran saya.

Namun perlahan kekhawatiran itu mulai terjawab. Sejak Lokakarya Orientasi PGP Angkatan 7 yang berlangsung di SMP Negeri 2 Banjarnegara (22/10), pikiran saya mulai terbuka. Saya mendapat banyak ilmu pengetahuan dan semangat baru baik dari narasumber maupun sesama teman calon guru penggerak.

Mungkin karena selama ini saya hanya mendengar informasi tentang Guru Penggerak hanya dari mulut ke mulut. Apa dan bagaimana sebenarnya guru penggerak itu masih samar-samar.

Namun setelah dua pekan mengikuti Pendidikan Calon Guru Penggerak, pemahaman saya mulai terbangun. Dari Modul 1.1 Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, saya mulai mengetahui bagaimana sejatinya pendidikan yang dicita-citakan oleh Bapak Pendidikan Nasional itu.

Salah satu pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah menyangkal teori "Tabula rasa." Teori yang berkembang di negara-negara barat abad 17 itu berpandangan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan kosong bagaikan kertas putih. Teori ini dipengaruhi oleh pemikiran John Locke. Tabula rasa berawal dari perhatian serius John Locke pada pemikiran Francis Bacon (1561-1626).

Teori tabula rasa berpendapat bahwa seluruh sumber pengetahuan anak diperoleh sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi alat inderanya terhadap dunia di luar dirinya. Sementara bagi Ki Hajar Dewantara, teori ini tidak memerdekakan anak. Padahal pengajaran dan pendidikan seharusnya menempatkan anak sebagai pusat pembelajaran.

Selamat dan Bahagia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun