Mendung menyembul di langit Jakarta mengiringi perjalanan kami dari rumah makan cepat saji di selatan Jakarta menuju ke barat. Minggu pagi (25/11) di saat sebagian besar warga Jakarta menikmati libur akhir pekan di mall atau tempat wisata lainnya; berempat kami menepi ke Lebak, Banten.
Lebak? Daerah antah berantah mana tuh? Ngapain? Sepanjang jalan kami menertawakan diri sendiri dan menebak pertanyaan apa yang akan meluncur dari bibir setiap orang yang ada di metropolitan tentang perjalanan ini. Berlibur ke Anyer atau ke Ujung Kulon masih bisa dicerna otak dengan wajar, tapi kami tidak ke pantai apalagi mencari badak bercula satu!
Max Havelaar yang menggegerkan publik pada 1860 tergeletak di bangku belakang; magnet yang menggeret langkah kami ke Rangkas. Novel satir buah karya Multatuli, nama pena yang digunakan oleh Eduard Douwes Dekker yang diambil dari bahasa Latin yang mengandung pengertian aku sudah banyak menderita. Multatuli, Asisten Residen Lebak, mengungkap kegetiran semasa tanam paksa yang dipakai oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mereguk keuntungan akibat carut marutnya kas Belanda yang terkuras semasa perang Jawa. [caption id="attachment_226551" align="aligncenter" width="312" caption="Berpose dengan Max Havelaar di Jl Multatuli, Rangkasbitung sebagai bukti perjalanan (dok. Ade Purnama)"][/caption]
Suara renyah Tante Lien memesan nasi goreng sambil mendendangkan menu makanan, menjadi penyemangat yang membuat kami turut bersenandung.
Geef mij maar nasi goreng, met een gebakken ei Wat sambal en wat krupuk en een goed glas bier erbij 2x
Geen lontong, saté babai en niets smaakt hier pedis Geen trassi, srundeng, bandeng en geen tahu petis Kwee lapis, ondé ondé, geen ketela of bapao Geen ketan, geen gula jawa, daarom ja, ik zeg nou
Rangkasbitung (biasa disingkat Rangkas), kota kecil yang jauh dari hiruk pikuk metropolitan adalah destinasi yang menarik untuk disusuri. Hanya butuh 30 menit perjalanan dengan kecepatan sedang menyusuri jalan tol dalam kota hingga keluar pintu tol Balaraja. Namun sisa perjalanan berikutnya memakan waktu 2 jam 30 menit sebelum kami sampai di tengah kota Rangkas. Dari tersendat di depan pasar yang gak jelas penyebab macetnya hingga merayap karena demo penghuni satu kompleks perumahan yang menutup jalan. Menyusuri daerah urban hingga berasa tersesat di antah berantah di jalan kampung yang membelah hutan serta ladang dan kawasan industri bermodalkan petunjuk arah dari Google Map. Dari cuaca mendung sampai diguyur hujan lebat jadikan perjalanan berwarna.
Pada 1839 setahun setelah sampai di Batavia, Multatuli mendapat pekerjaan sebagai ambtenaar/klerk di kantor Pengawas Keuangan. Karirnya sebagai pegawai negeri berlanjut dengan kepindahannya ke Natal, Sumatera Barat sebagai kontrolir. Setelah berpindah tugas dari Manado, Purworejo hingga menduduki jabatan kedua tertinggi sebagai asisten residen di Ambon; pada 21 Januari 1856 Multatuli menginjakkan kaki di Lebak, Banten sebagai asisten residen.
Salah satu tugas yang diemban sebagai asisten residen adalah mengawasi kinerja bupati di daerahnya. Sebulan di Lebak, Multatuli mulai bersinggungan dengan bupati Adipati Kartanata Nagara yang ditengarai telah memeras dan merampas harta rakyatnya. Feodalisme dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mereguk keuntungan dari daerah jajahannya. Hal yang tidak serasi dengan kata hati Multatuli dan tidak sejalan dengan semboyan revolusi Perancis liberte, egalite dan fraternite yang memandang manusia itu memiliki kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan. Multatuli melaporkan hasil temuannya kepada atasannya residen Banten, Brest van Kempen yang ternyata malah memihak kepada Kartanata Nagara dan menonaktifkan dirinya dari jabatan asisten residen.
Rasa kecewa dan perlawanan dari dalam jiwanya membawa Multatuli pulang ke Belanda dan melahirkan Max Havelaar. Satu bagian yang sering diangkat dari buku ini adalah Saijah dan Adinda yang masih sensitif sehingga filmnya pun mengalami kendala publikasi oleh pemerintah.
Berpayung gerimis, kami berdiri di depan bangunan yang difungsikan sebagai gudang rongsokan di belakang RS Adjidarmo, Rangkas. Hanya pucuk dinding sisi kanan bangunan yang terlihat sebagai penanda bangunan tersebut adalah bangunan kuno. Sedang bagian lainnya adalah bangunan baru yang usang karena tak terawat. Tak ada yang bisa ditanyai di sekitar rumah sakit sekedar untuk memastikan bangunan tersebut adalah rumah yang pernah ditempati oleh Multatuli saat bertugas di Lebak. Bahkan untuk mencari toilet, saya diberi petunjuk ke gedung rumah sakit lama, berputar-putar hingga selasar ruang jenazah lalu kembali ke gedung baru dan mendapati jawaban dari petugas keamanan,“semua toilet rusak, mbak!”. Satu yang berfungsi berada di sisi belakang ruang radiologi, itu pun dalam kondisi yang mengenaskan!
[caption id="attachment_226554" align="aligncenter" width="468" caption="Bekas rumah Multatuli yang menjadi gudang rongsokan di belakang RS Adjidarmo, Rangkas. Foto diambil dari sisi kiri sehingga dinding yang lama tak terlihat (dok. koleksi pribadi)"]
Mungkin janggal bagi masyarakat Rangkasbitung yang kebetulan melewati jalan utama ke alun-alun kota menjelang senja melihat kelakuan 4 (empat) orang pendatang di persimpangan jalan di kota mereka. Beberapa pengendara melambatkan laju kendaraannya karena penasaran sebelum berlalu dengan muka diliputi tanya. Di ujung jalan sepanjang 1 km dengan plang bertuliskan Jl Multatuli, buku Max Havelaar berpindah dari satu tangan ke tangan berikutnya.
[caption id="attachment_226549" align="aligncenter" width="468" caption="Jl Multatuli sepanjang 1 km jika disusuri sampai ke ujung akan bertemu alun-alun kota Rangkasbitung (dok. koleksi pribadi)"]