Ketika Azas Kekeluargaan Menjadi Tantangan dalam Organisasi Modern
Oleh : Olan Yogha Pratama
Dalam budaya Timur, termasuk Indonesia, azas kekeluargaan kerap dijadikan dasar dalam membangun sistem sosial dan organisasi. Ia menjunjung nilai kebersamaan, gotong royong, dan rasa saling memiliki. Namun dalam praktiknya, penerapan azas ini secara berlebihan dalam organisasi modern kerap menimbulkan tantangan serius terhadap prinsip tata kelola yang sehat dan profesional.
Salah satu dampak paling nyata adalah hilangnya objektivitas dalam pengambilan keputusan. Ketika kedekatan emosional menjadi dasar pertimbangan, maka keputusan strategis bisa condong pada kepentingan personal atau kelompok, bukan berdasarkan data dan kinerja. Ini memperbesar risiko bias dan diskriminasi, serta melemahkan daya saing organisasi.
Selain itu, kredibilitas organisasi pun ikut terancam. Ketika publik melihat bahwa promosi jabatan atau pengambilan kebijakan dilakukan bukan atas dasar kompetensi melainkan relasi, maka kepercayaan terhadap institusi pun menurun. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengikis legitimasi dan reputasi organisasi.
Azas kekeluargaan yang dominan juga sering mengaburkan akuntabilitas. Budaya "tidak enakan" atau "menjaga nama baik keluarga" kerap membuat pelanggaran dibiarkan atau ditutup-tutupi, bahkan dihalalkan demi menjaga harmoni semu. Akibatnya, evaluasi dan koreksi menjadi sulit dilakukan secara jujur dan terbuka.
Prinsip transparansi dan meritokrasi—dua pilar utama dalam tata kelola modern—juga sering kali dikorbankan. Ketika posisi, akses, dan peluang lebih banyak diberikan kepada yang dekat secara emosional ketimbang yang layak secara kemampuan, maka talenta muda dan ide-ide segar pun tersingkir. Organisasi menjadi stagnan, dan rasa keadilan pun memudar.
Namun demikian, bukan berarti nilai kekeluargaan harus ditinggalkan sepenuhnya. Empati, rasa tanggung jawab kolektif, dan solidaritas tetap dibutuhkan dalam membangun iklim kerja yang suportif. Kuncinya adalah menempatkan nilai-nilai kekeluargaan dalam proporsi yang sehat—yakni sebagai pelengkap, bukan pengganti profesionalisme.
Organisasi modern dituntut untuk mampu mengintegrasikan kehangatan relasional dengan sistem kerja yang rasional. Hanya dengan keseimbangan inilah, kita bisa membangun organisasi yang tidak hanya manusiawi, tetapi juga kredibel, objektif, dan berdaya saing tinggi di tengah dunia yang terus berubah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI