Mohon tunggu...
OKY HERMAWAN
OKY HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Negeri 1 Salatiga

Hoby menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Identitas dan Demokrasi, Untuk Apa?

3 Oktober 2022   20:40 Diperbarui: 3 Oktober 2022   21:26 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh : Oky Hermawan

Guru SMA Negeri 1 Salatiga

Upaya mengembangkan kehidupan yang lebih demokratis di negara kita, akhir-akhir ini mengalami pasang surut akibat di dera oleh berbagai intrik dan friksi politik  yang 'mengenyampingkan' identitas Indonesia sebagai bangsa yang bhinneka.  Kalau kita simak awal munculnya demokrasi  seperti dikatakan Huntington, dimulai dari formulasi dan pengembangan identitas nasional yang disertai dengan pranata politik yang efektif dan diakhiri pada pengembangan partisipasi politik rakyat. Persoalan bagi kita adalah apakah elit politik mengembangkan model ideal sebagaimana diutarakan Huntington atau mengembangkan model lain yang belum teruji? Kalau transisi menuju demokrasi memprasyaratkan partisipasi politik, apakah ketidak stabilan politik dan konflik horisontal yang belakangan ini  merebak di beberapa daerah merupakan konsekuensi logis dari pembalikan dalil Huntington?

ORIENTASI SENTRALISTIK

            Keberadaan Negara Indonesia dibutuhkan sebagai simbol perekat  kesatuan untuk memeterai diri dalam identitas kolektif yang bertujuan mencapai tujuan kolektif sebagai bangsa. Merujuk pemahaman yang demikian, maka seharusnya negara kita yang berlandaskan Pancasila merupakan negara demokrasi.

            Di era ORBA, penguasa menginterpretasikan konsep rakyat  menurut kepentingan politiknya. Hal ini membuktikan bahwa rezim ORBA telah melakukan pendangkalan dan penaklukkan terhadap negara dan rakyat. Dalam bahasa politik biasanya disebut hegemoni negara atas rakyat. Kekuasaan politik yang secara substantif  merupakan milik rakyat telah beralih menjadi milik penguasa. Berbagai upaya untuk memosisikan kembali makna rakyat yang berdaulat, oleh penguasa ORBA dilawan dengan tindakan represif. Akibatnya rakyat  amat tertekan dan menderita lahir batin.

            Rakyat kehilangan hak dan peluang untuk memosisikan dirinya sebagai yang berdaulat. Kata rakyat sering digunakan untuk melegitimasi berbagai kebijakan, yang sebenarnya tidak sepenuhnya berpihak kepada rakyat tetapi lebih kepada kepentingan penguasa. Kondisi obyektif di atas merupakan konsekuensi logis dari kultur politik paternalistik yang dikembangkan selama 32 tahun oleh pemerintah ORBA. Atas pijakan yang demikian, maka proses reformulasi berbagai perangkat hukum, memiliki peran yang tidak dapat dilepaskan dari kaitan dan fungsinya untuk melayani kekuasaan yang semakin terpusat kepada aras kekuasaan yang lebih tinggi.

 Karena itu gagasan, pandangan, pikiran atau pendapat alternatif yang didasarkan atas kebutuhan riel masyarakat kurang mendapat wadah, karena selain bertentangan dengan struktur dan budaya politik paternalistik juga tidak kondusif  dalam melanggengkan  status quo penguasa.             Konsekuensi logisnya adalah tercipta sentralisasi kekuasaan. Pelaksanaan kekuasaan yang demikian, diperkuat dengan legitimasi budaya, khususnya konsep kekuasaan tradisional Jawa. Adanya legitimasi budaya  dijadikan kiblat untuk menerapkan kekuasaan dalam negara Indonesia modern. Akibatnya mendorong penguasa ORBA untuk menerapkan kekuasaan yang tak terbagi. Sebab pemencaran kekuasaan hanya akan menyebabkan timbulnya ketidak teraturan maupun berbagai konflik. Karena itulah maka penguasa lebih banyak berpikir tentang bagaimana memusatkan dan mempertahankan kekuasaan dengan segala cara.

            Kesenjangan pembangunan di berbagai sektor merupakan akibat implementasi kebijakan politik, ekonomi yang sentralistik. Kondisi obyektif ini membuat beberapa daerah secara "sistematis" berupaya melepaskan diri dari negara kesatuan Indonesia. Konflik vertikal ini berkembang,  tanpa mampu diredam.  Identitas nasional kita semakin kabur bahkan cenderung hilang lantaran kesalahan mengelola kondisi pluralitas yang ada. Penguasa cenderung menggunakan penghampiran kekuasaan dan asimilasi dalam menonjolkan budaya suku bangsa tertentu sebagai repsentasi budaya nasional. Pluralitas terkooptasi demi kekuasaan. Dalam kondisi seperti begini penguasa cenderung mengabaikan persatuan dan keanekaragaman.

KEPEMIMPINAN JOKOWI

            Dari latar belakangnya, Jokowi dikenal sebagai Pengusaha Meubel yang memegang teguh ajaran Bung Karno. Dalam konteks Indonesia, ajaran-ajaran Bung Karno antara lain bermakna sebagai gagasan yang memandang kebangsaan sebagai bagian dari kesemestaan manusia. Atas dasar itu, sebenarnya gagasan kebangsaan Indonesia mesti ditempatkan dalam kerangka keterbukaan indentitas keIndonesiaan dan tidak perlu dibatasi dengan definisi hampa. Identitas bangsa mesti ditempatkan dalam bingkai kesatuan dan persatuan.

            Dalam pemahaman yang demikian, Jokowi telah menampilkan karakter negarawan yang memiliki wawasan kemanusiaan, yang mampu memberi harapan baru bagi rakyat yang nyaris kehilangan identitas nasional. Masyarakat berharap Jokowi sebagai pribadi yang lembut dan tenang  dapat menyelesaikan berbagai konflik yang menerpa bangsa ini. Kenyataan ini perlahan-perlahan  tapi pasti telah mengembalikan kepercayaan rakyat  akan adanya kedewasaan politik menuju identitas nasional yang tangguh. Kedewasaan politik ini menjadi prasarat terciptanya transformasi damai menuju demokrasi yang selanjutnya menjadi instrumen penunjang pencapaian tujuan. Dalam kondisi demikianlah seharusnya Jokowi dengan Kabinet Kerjanya maupun para elit politik dan kita sebagai warga negara mesti menunjukkan kedewasaan dalam menerima perbedaan pendapat. Bila hal itu tidak kita miliki maka transformasi menuju demokrasi hanya merupakan lip service. Sebab bagaimanapun transformasi menuju demokrasi tidak dengan sendirinya terlaksana walau sistem politiknya dilengkapi dengan pranata politik yang demokratis.

KESIMPULAN

            Perkembangan hak pilih rakyat sebagai urutan terakhir dalam paradigma Huntington merupakan bukti hadirnya demokrasi. Namun bila ditempatkan pada awal, maka partisipasi politik dapat dipandang sebagai instrumen pembentukan identitas nasional.  Namun tergantung respon para elite politik terhadap premis demokrasi sebagai transisi dari rezim otoriter menuju rezim demokratis. Disini dibutuhkan solidaritas para elite dan kita semua untuk membangun solidaritas bangsa.

            Terlepas dari semua itu, indentitas nasional harus ditempatkan sebagai acuan yang merajut persatuan dan kesatuan dalam pluralisme. Kalau saja kita mau jujur, kesemuanya merupakan pusaran politik dalam suatu bingkai yang mampu menyedot atau menenggelamkan  semua kita untuk kembali ke rezim otoriter. Atau dapat juga bergerak ke dalam bingkai transformasi menuju demokrasi. Kegagalan membawa bangsa ini untuk kembali memiliki identitas nasional yang jelas, akan dibayar sangat mahal oleh generasi penerus kita. Karena itu semua kita mesti berupaya bahu membahu  menggiring bangsa ini untuk kembali menuju bingkai demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun