Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional, sebagai bentuk penghormatan terhadap Bapak Pendidikan, Ki Hajar Dewantara. Beliau dikenal dengan semboyannya yang terkenal:
"Ing ngarsa sung tulodho" (di depan memberi teladan),
"Ing madya mangun karso" (di tengah membangun semangat),
"Tut wuri handayani" (di belakang memberi dorongan).
Semboyan ini menekankan pentingnya peran pendidik dan pemimpin sebagai teladan moral, penggerak semangat, dan pemberi motivasi dalam pembangunan pendidikan. Sayangnya, nilai-nilai luhur tersebut hari ini seperti hanya menjadi hiasan seremoni tanpa perwujudan nyata dalam kebijakan dan praktik pendidikan kita. Bangsa-bangsa besar seperti Jepang dan Cina telah membuktikan bahwa pendidikan adalah kunci utama untuk bangkit dari keterpurukan. Mereka bangkit dari kehancuran pasca perang dunia dengan berinvestasi pada kualitas manusia melalui pendidikan. Bandingkan dengan Indonesia, negara yang sudah merdeka hampir 80 tahun, tetapi masih belum memiliki arah pendidikan yang jelas. Kurikulum yang terus berganti setiap kali terjadi pergantian pemerintahan mencerminkan ketidakseriusan negara dalam membangun sistem pendidikan yang konsisten dan berkelanjutan. Sejak kemerdekaan, Indonesia sudah mengganti kurikulum sebanyak 11 kali, menjadikan siswa dan guru sebagai kelinci percobaan dari sistem yang tak kunjung matang. Akibatnya, pendidikan kita belum mampu menghasilkan manusia yang kompeten, kreatif, dan berkarakter. Minimnya literasi, keterampilan, dan semangat kewirausahaan membuat generasi muda sulit bersaing bahkan menciptakan lapangan kerja.
Di sisi lain, praktik nepotisme dan dinasti politik semakin mencederai semangat keadilan dalam dunia pendidikan dan keteladanan kepemimpinan. Bukan hal asing melihat kepala daerah, bahkan pejabat tinggi negara, berasal dari lingkaran kekuasaan yang sama. Pendidikan pun kehilangan martabatnya sebagai alat emansipasi, berubah menjadi alat pelanggeng kekuasaan.
Lebih miris lagi, kasus kekerasan di sekolah kian meningkat. Data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat bahwa sepanjang 2024 terjadi 573 kasus kekerasan dan pelecehan di sekolah, meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Bahkan dalam banyak kasus, guru menjadi korban. Peran guru tak lagi dihormati sebagaimana mestinya; siswa merasa bebas melakukan pelanggaran karena hukum tidak berpihak pada penegakan disiplin. Guru takut menghukum, karena bisa berujung pidana. Semua ini menandakan bahwa sistem pendidikan kita gagal membangun moral dan karakter peserta didik. Cita-cita pendidikan karakter yang digaungkan Ki Hajar Dewantara seakan terabaikan. Pendidikan seharusnya menanamkan nilai adab, kejujuran, dan tanggung jawab sosial, bukan sekadar capaian akademik.
Harapan besar kita adalah agar di usia kemerdekaan yang hampir mencapai satu abad ini, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan merumuskan ulang sistem pendidikan nasional yang lebih manusiawi dan bermoral. Pendidikan yang mengedepankan nilai luhur, bukan sekadar mengejar angka dan ijazah. Korupsi yang mendarah daging, kekerasan yang marak, serta rendahnya moral sosial hanya bisa diatasi jika pendidikan kita kembali kepada akarnya “membangun manusia yang adil dan beradab”. Bangsa yang maju adalah bangsa yang mengutamakan pendidikannya, bukan hanya perut atau nafsunya. Pendidikan harus dimulai dari rumah, diteladani oleh orang tua, dikuatkan oleh sekolah, dan dijaga oleh negara. Jika itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, barulah Indonesia layak disebut negeri yang adil dan makmur.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI