Ada secercah harapan bagi suami sepulang dari dokter saraf. Beliau tertidur lelap, nyeri kepala berkurang, mual dan muntah hilang. Alhamdulillah, kata itu terucap berulang-ulang.Â
Meskipun sakit utama beliau belum ada penanganan khusus, setidaknya beliau bisa merasa nyaman.Â
Saya sangat senang melihat kondisi suami. Meskipun masih sulit untuk makan secara normal, paling tidak masih punya hasrat untuk makan sehingga ada asupan gizi dan nutrisi yang masuk baik melalui Susu yang diminum maupun makanan yang sifatnya lunak.Â
Senin malam tepatnya menjelang lebaran, tiba-tiba anak sulung kami menangis. Dia menangis karena tidak bisa berlebaran dengan ayah nya. Dia mau ayah sembuh dan sehat kembali sehingga bisa berkumpul dan berjalan bersama-sama.Â
Dia sedih Karena saat adik-adiknya berkunjung ke rumah paman nya dia tidak ditemani ayah dan ibu.Â
Dia menangis sampai tersedu. Saya berusaha mennenangkannya tapi tidak berhasil. Dia terus menangis. Tangisannya  membuat saya ikut menangis, untung keadaan gelap karena menjelang tidur sehingga dia tidak melihat kondisi saya.  Tangisannya mereda ketika ayahnya berbisik dan berbicara langsung kepadanya.
Bagaimana saya tidak sedih, anak-anak masih kecil, mereka masih butuh kasih sayang ayahnya, tapi kondisi sang ayah tidak memungkinkan untuk mengajak mereka bermain.Â
Ayahnya hanya berbaring sambil menahan rasa sakit. Tidak banyak yang bisa saya lakukan, saya hanya manusia biasa yang memiliki kemampuan terbatas. Saya hanya bisa berdoa, berusaha, dan menyemangati beliau. Si sulung mengerti kalau ayah nya sakit sehingga dia tidak bisa kemana-mana.Â
Semoga keadaan ini segera berlalu, sehingga anak-anak bisa bermain, bergembira, berenang, berlari, dan berkejaraan dengan sang ayah. Moga saja kegembiraan anak-anak tidak hilang selama ayah mereka sakit. Karena kesedihan anak-anak adalah kesedihan orang tua juga.Â