Mohon tunggu...
Muhammad okan fatah
Muhammad okan fatah Mohon Tunggu... mahasiswa

saya adalah mahasiswa filsafat,saya senang membagian fenomena sekaran dari kacamata filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tokoh agama dan Kacamata Palsu

6 Oktober 2025   23:35 Diperbarui: 6 Oktober 2025   23:34 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Indonesia, jika dibandingkan dengan negara-negara liberal seperti Amerika Serikat, masih tergolong sangat religius. Nilai-nilai budaya seperti sopan santun dan rasa hormat masih melekat kuat di tengah masyarakat. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia sering muncul sosok-sosok yang dikultuskan atau dikagumi, salah satunya adalah tokoh agama. Tokoh agama memiliki posisi yang sangat penting dalam struktur sosial masyarakat apa yang mereka katakan sering kali memiliki pengaruh besar terhadap cara berpikir dan bertindak masyarakat.

Namun, tidak jarang para tokoh agama ini menggunakan legitimasi agama dalam menafsirkan suatu fenomena sosial, sering kali dengan mengaitkannya pada konsep “bersyukur” atau “takdir.” Akibatnya, banyak fenomena sosial yang dilihat secara deterministik, seolah-olah semua terjadi karena kehendak Tuhan yang tidak perlu dipertanyakan. Jika kita melihatnya dari sudut pandang Karl Marx, cara pandang seperti ini dapat dikategorikan sebagai bentuk opium atau “kesadaran semu” yakni suatu kesadaran yang meninabobokan masyarakat, membuat mereka menerima kondisi yang sebenarnya menindas tanpa menyadarinya.

Sebagai contoh, salah satu tokoh agama terkenal berinisial GM dalam sebuah ceramah pernah mengatakan bahwa orang-orang yang mengkritik presiden dianggap kurang bersyukur. Menurutnya, kita seharusnya mensyukuri segala sesuatu yang terjadi, karena presiden juga manusia yang tidak luput dari kesalahan. Jika pernyataan tersebut ditinjau dari perspektif Marx, maka itu merupakan bentuk kesadaran palsu yang berfungsi menutupi realitas sosial dan melanggengkan status quo. Mengkritik kebijakan presiden sebenarnya merupakan bagian dari upaya masyarakat untuk menyoroti masalah sosial yang nyata, namun melalui narasi “kurang bersyukur,” kritik tersebut justru dipandang sebagai sikap yang salah. Akibatnya, masalah sosial yang sesungguhnya perlu diselesaikan malah diabaikan, dan sistem kekuasaan yang ada tetap dipertahankan tanpa perbaikan. Sebuah fenomena sosial yang memang  An Sich adalah sebuah masalah sosial justru ketika kita ingin mengkritikn ya dianggap kurang bersyukur?

Sementara itu, jika kita meninjau dari perspektif Michel Foucault, fenomena semacam ini dapat dipahami sebagai bentuk pelanggengan kekuasaan melalui legitimasi agama. Dalam kerangka pemikiran Foucault, kekuasaan tidak hanya bekerja secara represif, tetapi juga secara halus melalui wacana dalam hal ini, wacana religius yang memproduksi ketaatan. Dengan demikian, agama digunakan sebagai alat untuk menormalisasi ketimpangan dan mengekang kesadaran kritis masyarakat.

Fenomena ini dapat dilihat pula pada kasus lain, misalnya ketika seorang pimpinan pondok pesantren menyatakan bahwa peristiwa robohnya bangunan pondok merupakan “takdir.” Tafsir deterministik semacam ini menutupi fakta objektif yang seharusnya dievaluasi, seperti kelalaian konstruksi, manajemen yang buruk, atau kesalahan manusia lainnya. Alih-alih menjadi momen refleksi dan perbaikan, tafsir religius yang fatalistik justru mengubah tragedi menjadi sesuatu yang “sudah seharusnya terjadi.” Akibatnya, masyarakat kehilangan kemampuan kritis untuk menilai fenomena secara objektif dan malah terkungkung dalam kesadaran semu.

Dengan demikian, pandangan deterministik yang dilegitimasi oleh tokoh agama pada akhirnya menciptakan “kacamata palsu” dalam melihat realitas sosial. Fenomena yang seharusnya dipahami sebagai persoalan objektif dan memerlukan solusi konkret justru ditutupi oleh lapisan ideologis yang mengaburkan akar masalahnya. Inilah yang pada akhirnya melanggengkan status quo dalam masyarakat dan membuat kesadaran kritis menjadi tumpul.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun