Banyak yang tak berani melakukan hal-hal yang telah terlarang di kampung ini sejak jaman nenek moyang kami. Anak-anak tidak ada yang boleh bermain sendirian. Konon, kata para orang tua, nanti aka nada roh jahat yang membawa sang anak pergi jauh dari kampung halaman. Ada juga yang melarang para gadis agar tidak keluar sesudah azan maghrib berkumandang, ditakutkan ia nanti membuat malu kehormatan keluarganya. Kampung ini memang istimewa, terlalu banyak larangan yang diwariskan para leluhurnya, meskipun tak banyak yang melanggarnya.
Makan malam keluarga kali ini agak lumayan enak. Meskipun Emak tidak habis menjual tanah warisannya, namun makanan yang tersaji kali ini memang meningkatkan nafsu makan bagi orang sekampung kami. Jelas bukan nikmat tentang rasanya, tapi nikmat karena lauk yang tersedia lebih dari cukup. Sayur asem, ayam goreng, tempe goreng, sambal, lalap, dan juga ongseng ikang teri terlihat begitu mewah kali ini. Biasanya, hanya ada tempe goreng dan sayur asem. Tak pernah lebih dari itu. Jika mau makan ayam goreng, berarti dua-tiga hari kedepan kami hanya akan makan nasi dan garam saja, tidak ada lauk pauk lainnya. Tapi kali ini Emak sengaja memasak lebih dari biasanya.
“Adikmu mana Mey?” Teriak Emak dari arah dapur. Hal ini tentu saja mengagetkan seisi rumah. Bapak yang sedang asik merokok di ruang tamu ikut mendengar teriakan Emak malam itu. Aku langsung menuju dapur menemui Emak.
“Belum pulang Mak.” Jawabku singkat.
“Suruh Bapakmu cari dia ke Masjid atau ke rumah Kang Egi.”
“Baik Mak”.
Aku langsung menuju ruang tamu, menyampaikan perintah Emak kali ini. Setelah mendengar hal tersebut, Bapak langsung buka pintu, keluar mencari Adi. Sudah hampir jam 8 malam adik ku belum juga pulang. Tersisa satu jam lagi, jika Adi belum juga pulang, niscaya esok kampung kami akan geger.
*
Mbah Karta memang telah lama meninggal. Dahulu, ia dikenal memiliki kesaktian yang luar biasa di kampung kami. Emak kerap kali menceritakan bahwa di setiap malam Jum’at kliwon, Mbah Karta selalu mengadakan ritual yang tak seorang pun mengetahui apa yang ia lakukan. Kesaktian Mbah Karta seakan menggantikan kehadiran dokter di kampung kami yang jauh dari kota. Mbah Karta mampu mengobati berbagai macam penyakit, bahkan sampai membantu seorang Ibu yang akan melahirkan. Itu semua mampu di lakukan oleh Mbah yang sampai saat ini kesaktiannya masih tersisa di kampung kami.
Emak pernah menceritakan kepada aku dan Adi, bahwa melalui kemampuan Mbah Karta lah Emak dilahirkan. Sayangnya, waktu kelahiranku, usia Mbah sudah cukup tua sehingga tak mampu lagi menjalankan kesaktiannya. Konon, bayi-bayi yang lahir melalui kesaktiannya tak pernah sakit di masa Balita, air susu perempuan yang melahirkan di tangan Mbah Karta pun semuanya keluar. Berbeda dengan anak-anak yang lahir di masa ku dan setelahnya. Banyak bayi di bawah umur lima tahun menderita penyakit. Air susu ibu banyak yang tidak keluar. Dan hampir semuanya selalu nangis di malam hari. Entah apa yang menyebabkannya. Tak jarang spekulasi pun bermunculan, bayi-bayi tersebut diganggu roh halus karena tidak terlindungi oleh sentuhan magis tangan Mbah Karta.
Emak juga pernah menuturkan, setelah Mbah Karta tidak lagi mampu menolong orang lain karena faktor usianya, maka banyak warga yang tak berani lagi memiliki anak lebih dari dua karena beban hidup akan segera menambah untuk membeli susu, dikarenakan air susu ibunya jarang yang keluar. Selain itu, para lelaki pun semakin berhati-hati dalam bekerja, takut sakit ataupun terluka terkena alat pertanian. Mereka tak mau mengeluarkan uang lebih untuk berobat, karena untuk makan pun sesungguhnya sudah pas-pas an.
Mbah Karta memang sungguh mulia, dengan kesaktiannya, ia tak pernah mematok harga kepada para penduduk. “Semampunya saja.” Itu yang selalu ia sampaikan kepada penduduk di kampung kami setelah berobat kepadanya.
Selain itu, Mbah Karta juga pernah dipergoki oleh Mang Ujang sedang menuju ke atas bukit yang ada di persawahan para penduduk. Bukit tersebut menjulang tinggi, menutupi persawahan yang hijau. Jarang ada yang berani memasuki daerah tersebut apalagi untuk membuka lahan pertanian sekalipun. Bukit tersebut masih terjaga keasliannya. Hanya beberapa saja yang telah rusak. Banyak pohon-pohon tua yang sudah membesar. Tak ada yang berani menenbangnya. Ada satu pohon yang dipercaya penduduk sebagai tempat Mbah Karta melakukan ritual khususnya di sana. Sampai sekarang pohon tersebut tampak kokoh meski sudah tua dan penduduk pun menaruhkan sajian khusus di pohon itu setiap malam Jum’at kliwon. Penyatuan antara larangan dan kebiasaan Mbah Karta semasa hidupnya.
*
“Di rumah Kang Egi tidak ada si Adi, di sana juga tadi banyak orang-orang yang mencari anaknya.” Bapak ku masuk secara tiba-tiba. Mengejutkan kami yang sedang menunggu sambil mendengarkan radio. “Sudah hampir jam 9, Kang Egi pun menyuruh kami semua pulang. Ada baiknya melaksanakan larangan dari Alm. Mbah Karta.”
“Lalu bagaimana Adi? Apa ia akan baik-baik saja?” Emak menimpali dengan begitu cemas.
“Kang Egi meminta kami untuk tenang dan berdoa agar Adi bersama yang lainnya baik-baik saja.”
*
Menjadi sebuah rutinitas bagi kami semua di kampung ini, apabila malam Jum’at kliwon datang, tak seorang pun boleh keluar rumah lebih dari jam 9. Kami di minta oleh Mbah Karta kumpul bersama keluarga di rumah. Jangan ada yang keluar sekalipun apabila sudah melebihi waktu tersebut. Tak pernah ada yang menanyakan kenapa dan tak pula ada yang berani keluar rumah atau sekedar mengintip dari jendela sekalipun. Karisma si Mbah memang cukup dikagumi sehingga jarang yang ngeyel kepada setiap ucapannya. Hingga saat ini, sampai Adi dan teman-temannya melawan kebiasaan tersebut.
Kampung kami memang jauh dari Kota. Pertanian dan peternakan menjadi mata pencaharian penduduknya. Hanya ada sedikit orang pintar. Rata-rata hanya lulusan SMP. Karena sekolah menengah atas hanya ada di Kota yang jauh dari jangkauan kami. Namun, sudah banyak di jamanku yang sekolah sampai SMA, meski harus menempuh jarak yang lumayan jauh. Itu membuat kami bersentuhan langsung dengan penduduk Kota yang telah kehilangan budaya asli mereka. Kampung kami juga jauh dari rumah sakit, tapi ada seorang bidan yang bersedia tinggal di sini dan kawin dengan bujangan kampung kami. Kehadirannya entah berasal dari mana, yang jelas pada saat itu ia datang ketika Mbah Karta sedang sakit-sakitan menjemput ajalnya. Makanya, banyak yang tidak berani macam-macam dengannya.
Kini Adi entah pergi kemana. Ia yang kini telah duduk di bangku kelas satu SMA telah melanggar larangan Mbah Karta yang telah kami turuti turun temurun. Ia pergi dengan beberapa temannya. Tak ada yang tahu kemana.
Malam panjang terjadi. Angin kencang disertai hujan dan petir mencekam kampung kami. Hawa dingin menyelimuti. Tak ada yang berani berkata-kata. Bapak sesekali tampak menenangi Emak yang terus-terusan menangis, khawatir dengan keadaan Adi. Warga kampung pasti mengutuk kelakuan Adi dan kawan-kawannya. Kutukan telah di mulai. Mbah Karta murka karena larangannya telah dilanggar. Dan para orang tua terus-terusan gelisah, apa yang akan menimpa mereka esok pagi. Tampak penyesalan dari raut muka Bapak, ia telah merasa gagal membimbing Adi untuk terus menjaga kearifan para leluhurnya.
*
Pagi hari Adi ditemukan pingsan di bawah perbukitan. Ia dan teman-temannya tak sadarkan diri. Namun Ibu Bidan memastikan mereka masih hidup. Hanya butuh beberapa perawatan saja untuk kembali menyadarkan mereka. Semua orang-orang tampak pasrah pagi itu. Siap menerima resiko dari para leluhur mereka dan yang lebih menyakitkan ialah siap melepas anak-anak mereka untuk meninggalkan kampung akibat melanggar larangan Mbah Karta.
Dalam hitungan minggu, sawah-sawah mengalami gagal panen. Padi mati terserang hama. Hewan ternak mati terkena penyakit. Banyak bayi dan anak-anak menangis ketakutan di malam hari. Sesepuh kampung yang masih hidup terus-terusan memohon kepada Gusti Allah dan juga leluhur-leluhur terutama Mbah Karta memaafkan kesalahan yang telah terjadi.
Emak tiap malam menangis, memohon maaf kepada Gusti Allah dan juga meminta-Nya selalu melindungi Adi di luar sana yang jauh dari pengawasannya.
Sedangkan ku kembali teringat pada adikku. Adi pernah bilang kepadaku, “Kita sudah masuk jaman modern, kenapa masih saja kaku pada warisan leluhur yang ketinggalan jaman.” Mungkin itulah yang menyebabkannya berani melanggar larangan Mbah Karta. Di waktu perpisahan dengannya, ku selipkan selembar kertas di sakunya. Diujung pesan kusampaikan “modernitas tak harus menghancurkan kepercayaan lokalitas. Kita harus menjaganya sampai kapanpun, karena itulah keaslian diri kita. Biarlah ritual terus berlanjut, bukan karena kita tak mampu mengubahnya tapi karena kita harus percaya, pendahulu kita ialah orang-orang yang arif terhadap alam dan manusia.”
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI