Ketika kotanya masih asri, unsur kebudayaan masih terasa. Kota segudang makanan tradisional, peragaan budaya hingga seni yang saya nikmati kurang tiga bulan. Ketika ngopi masih diemperan jalan. Menikmati sajian para seniman dan lakon kebudayaan yang diperagakan.Â
Sementara pertengahan 2018, ketika kembali lagi saya terperangah. Hampir tak mengenal sama sekali wajah kota ini ketika pertama kali turun dari stasiun Jogjakarta.Â
Gedung-gedung tinggi menjulang, perhotelan, perkantoran dan berbagai jenis kegunaan gedung tersebut  Sejenak saya berpikir, apakah ini Jogja sekarang? saya pikir Jakarta.Â
Sepanjang perjalanan pemikiran saya tak sejalan. Ibarat sedang menacari sesuatu yang hilang namun tak juga menemukan.Â
Selama dua minggu di sini, berbagai tempat kembali dikunjungi. Beberapa lokasi sangat saya hafal dan beberapa tidak lagi. Apalagi lokasi lokasi yang menjadi favorit nongkrong.Â
Ketika diajak nongkrong saya sangat antusias. Sudah lama tak nongkrong diangkringan. Saya kangen seduhan mbah dengan kopi-kopi tradisionalnya. Apalagi banyak cemilan.Â
Namun, sesampai di lokasi malah kami dibawa ke sebuah cafe berkonsep millenial yang saking gedenya. Aih kecewa iya tapi apa daya kopi sudah dipesan.
Beberapa kesempatan kami akhirnya menemukan lokasi-lokasi nongkrong yang saya inginkan. Sungguh sangat nikmat. Ini yang sebenarnya di cari, keasrian dan cita rasa lokal yang tak semua daerah bisa dijumpai. Keunikan Jogja yang tak bisa dilupakan.
*
Memang patut diakui bahwa perkembangan dan konsep parawisata semakin hari semakin maju. Konsep yang melibatkan banyak mata rantai menjadi termanajemen, rapi dan inklusif.