Mohon tunggu...
Yusuf A
Yusuf A Mohon Tunggu... -

Tinggi 167 cm berat 50 kg

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ahok dan Warga Tetangga

15 Maret 2016   21:30 Diperbarui: 16 Maret 2016   07:23 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Membicarakan pembicaraan orang tentang satu orang itu nda simpel-simpel vro!. Cara awan pun bisa dikatakan complicated. Bagaimana tidak, sekumpulkan tetangga saja bisa menggulirkan wacana figur dengan komplitnya. Memunculkan pak Dollah guru SD yg barusan membagi oleh-oleh tomat dan cabe, sementara pak RT pedagang racun tikus, diminta tandatangan surat keterangan saja pake bayar! Walhasil pak Dollah menjadi figur ideal (dengan segala kriteria perbandingan) bagi warga tetangga. Hal ini pertanda tamparan bagi pak RT dengan satu gerakan cerdas bernama gosip tomat dan cabe'. Ini perumpamaan saja, toh yang lain masih banyak. Makin kesana, makin enak ngomongnya -bisa jadi ini ciri 'masyarakat kampus'- semakin canggih alat konsepnya semakin mengerikan apa yang diimajinasikan, walau ngakunya itu 'pemahaman' dan tidak sedikit bilang hipotesa *ehhh. Terlebih jika misal, bahannya bernama elit politik itu vro!

Nah gua nggak segan ngomongin Ahok itu (tabeq di', hahaha). Apalah dia yang jadi calon gubernur di komplek sebalah, tak ada sangkut pautnya dengan 'warga tetangga'. Tapi sekali lagi warga tetangga punya cara 'menjungkirbalikkan' kolotnya pak RT. Walau demikian, masih ada anggapan untuk tidak mengurusi komplek orang lain. Sementara bak sampah dikomplek sendiri tinggal tulang gitu -coba perhatikan-. Katanya itu dulu yang harus diurus?

Segala berita tentang Ahok yang mencengangkan, terlepas itu benar apa tidak. Ia sedang berada di arus wacana media mainstrem. Seolah-olah Ahok berdiri sendiri, tunggal di atas media yang memuatnya, baik itu yang pro dan kontra. Walhasil semua sorotan warga tetangga tertuju padanya. Dibicarakan, digosipkan, dipuja-puji, diapresiasi, diserang, dimaki, dikritik dan sebagai-bagainya. Lantas apakah hal tersebut miris ditengah kondisi warga tetangga yang carut marut karena pak RT? Menurutku, sama sekali bukan itu persoalannya. Bagaimanapun secara tidak langsung Ahok tidak ditempatkan sebagai figur tetapi bisa jadi merupakan wacana pembalasan terhadap hegemoni patung adipura! Loh kok patung adipura? Begini saja, kita sedikit banyak menyadari jika kebanyakan yang jadi elit soal gagah-gagahan saja (mirip patung) lupa tupoksinya. Itu belum motif pengen dihormati dan disegani plus pencitraannya. Demikian membuat warga tetangga semakin mangut-mangut saja. Asal bapak senang katanya. Meski memang belakangan sisa kultur 'ngesot' dihadapan kelompok (elit) pemuja nenek moyang itu belum juga hilang. Warga tetangga lebih memilih 'masuk rumah' ketimbang mengkudeta pak RT. Disisi lain, ketika warga tetangga punya 'Ahok' atau pak Dollah untuk dibicarakan, disitulah kekuatan sebenarnya. Kekuatannya ada pada wacana tersebut, bukan soal Ahok-nya. Semakin didorong kesana-kemari, semakin pesannya kuat. Didalamnya terselip yang sebenarnya idealitas atau malah ideologi yang layak diperjuangkan. Sembari menampar secara halus pak RT pedagang racun tikus itu dan perlahan menggusur ideologi bak sampah kosong.

Pandangan ini mungkin cukup rumit. Warga tetangga sekiranya hidup dalam kesadaran terkontaminasi atau mungkin saja tersubordinasi. Namun dihati paling dalam warga tetangga terlecut rasa resistensi. Kemungkinan besar hal tersebut karena kesenjangan harapan dengan realitas. Lantas warga tetangga bukannya diam, malah melakukan pembalasan terhadap suatu kondisi yang menekan disekelilingnya. Warga tetangga dengan cerdik membangun 'gosip' dan 'obrolan'. Suatu wacana yang dibangun sendiri. Kalo situ di elit di komplek sendiri tidak tersentil, biar saja warga tetangga ngomongin Ahok yang sangat keren itu.

Sekian #pakRTmenolaksurvey

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun