Akhir-akhir ini banyak sekolah swasta mulai megap-megap, bukan karena kekurangan guru, tapi karena kekurangan murid. Bangku kosong, ruang kelas sepi, guru pun gelisah. Padahal, dulu sekolah swasta punya tempat sendiri di hati para orang tua. Tapi sekarang? Banyak yang tutup usia dini. Pertanyaannya: siapa yang salah?
Selama ini sekolah swasta sering dianggap sebagai "opsi kedua" setelah sekolah negeri. Padahal, banyak banget sekolah swasta yang kualitasnya gak kalah. Bahkan beberapa lebih unggul dari sisi karakter, kedisiplinan, atau nilai-nilai keagamaan. Tapi yang jadi masalah adalah ketika pemerintah terus mendorong kuantitas sekolah negeri tanpa memperhitungkan distribusi murid secara proporsional. Ketimpangan ini bikin sekolah swasta seperti kalah sebelum bertanding.
Kondisi ekonomi keluarga juga jadi faktor utama. Siapa sih yang gak pengen sekolah bagus dan gratis? Maka, saat sekolah negeri buka pendaftaran, langsung diserbu. Sekolah swasta yang berbayar pun jadi kurang diminati, meski punya program unggulan. Ini realita yang gak bisa dihindari. Tapi bukan berarti harus dibiarkan begitu saja.
Harus ada regulasi dari pemerintah yang adil dan berpihak. Gak cukup cuma bangun gedung dan buka sekolah negeri sebanyak mungkin, tapi juga menjaga ekosistem pendidikan agar tetap seimbang. Sekolah swasta butuh perlindungan, bukan pembiaran. Harus ada insentif, dukungan, atau bahkan kerja sama nyata agar mereka tetap bisa berdiri dan memberi warna dalam dunia pendidikan kita.
Kita juga perlu mengubah cara pandang. Sekolah swasta bukan musuh, bukan pesaing. Mereka adalah mitra dalam membangun generasi. Gak semua orang cocok di sistem negeri, dan gak semua nilai bisa ditanam lewat kurikulum formal. Ada banyak nilai kehidupan yang justru lahir dari pendekatan personal dan komunitas kecil seperti yang banyak diterapkan di sekolah swasta.
Pemerintah seharusnya hadir dan membuat kebijakan afirmatif---bukan malah seolah-olah berpihak hanya pada yang besar dan bersubsidi. Mulai dari insentif pajak, dukungan pelatihan, kemitraan, hingga zonasi yang adil bisa jadi langkah nyata. Jangan sampai sekolah swasta dianggap hanya pelengkap penderita dalam dunia pendidikan.
Karena kalau sekolah swasta terus dibiarkan kehilangan murid, bukan cuma ruang kelas yang kosong, tapi juga harapan, semangat guru, dan keberagaman metode pendidikan yang ikut padam. Ini bukan cuma tentang angka murid, tapi tentang masa depan bangsa yang harus dibangun bersama, bukan sendiri-sendiri.
Masyarakat juga perlu ubah pola pikir. Sekolah swasta bukan selalu mahal dan eksklusif. Banyak yang justru berjuang untuk tetap terjangkau, bahkan jadi andalan untuk pendidikan karakter dan agama. Jadi sebelum buru-buru daftar ke negeri karena "gratis", coba lihat juga potensi sekolah swasta di sekitar.
Dan yang paling penting, pendidikan itu seharusnya bukan kompetisi antar sekolah, tapi kolaborasi untuk melahirkan generasi yang siap menghadapi masa depan. Kalau kita cuma dukung satu sisi, maka yang lain akan tumbang. Dan ketika satu bagian ekosistem runtuh, dampaknya bakal terasa ke semuanya. Termasuk ke anak-anak kita sendiri.
Jadi kalau sekolah swasta gak dapat murid, salah siapa? Jangan-jangan bukan salah siapa-siapa, tapi salah kita semua yang diam dan cuek. Saatnya buka mata, buka hati, dan bikin perubahan nyata. Karena dunia pendidikan yang sehat itu harus adil dan merata, bukan cuma tentang siapa yang paling murah atau paling besar.