Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Dari Sampah, Kenyataan Fiksi, Hingga Instan

3 Mei 2015   18:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:25 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari Sampah, Kenyataan Fiksi, Hingga Instan: Dinamika (Komunitas) Fiksi di Kompasiana: Sebuah Catatan Singkat

Di Kompasiana, blog keroyokan terbesar di Indonesia, yang telah beberapa kali mendapatkan penghargaan, ada kanal khusus untuk karya-karya fiksi. Namanya Fiksiana. Kanal ini mulai muncul  sejak 26 September 2011, dan baru satu-satunya kanal yang tersedia. Pengelola Kompasiana pernah menyatakan akan membentuk kanal-kanal untuk bidang tertentu, dan sebagai awal adalah Fiksiana. Nama Fiksiana sendiri dipilih berdasarkan masukan-masukan yang muncul saat admin meminta pandangan dari para kompasianer.

Pada periode sebelumnya, bukan berarti tidak ada fiksi.  Semua karya fiksi, tersedia di rubrik fiksi. Menarik untuk mencermati pergaulan para penggemar fiksi yang sering disebut sebagai fiksianer, utamanya pada saat periode awal saya  mulai memasuki blog keroyokan “Kompasiana” di pertengahan tahun 2010. Banyak karya terlahir, dan para kompasianer menyambutnya dengan saling bersapa di ruang-ruang komentar, yang sedemikian riuhnya.  Atas situasi ini, tidaklah mengherankan jika Kompasiana, yang dimaksudkan sebagai  jurnalis warga, justru jumlah pengunjung terbesarnya adalah di rubrik fiksi.  Patut diduga, situasi ini sangat mencemaskan para admin.

Gairah berkarya para fiksianer tiada padam kendati saat itu muncul ketidakpuasan yang menganggap admin tidak memiliki kepedulian terhadap karya-karya fiksi. Headline sebagai tempat terhormat, hanya ditempati oleh karya penulis tamu yang mampu bertahan lebih dari satu minggu bahkan hingga tiga minggu. Saat berganti, kerap dari karya penulis yang sama. Sedangkan rubrik lainnya, dalam satu hari dapat berganti headline. Situasi macam ini sepengamatan saya tetap berlangsung hingga Maret 2011, saat fiksianer banyak melakukan gugatan dan juga membuat gerakan event fiksi, yang jika tidak salah diawali oleh event “Hari Fiksi Kompasiana” yang digagas oleh kawan-kawan dari Kampung Fiksi.  Hal mana kemudian diikuti oleh event-event lain yang masih berlangsung hingga saat ini oleh komunitas-komunitas yang terbentuk.

Patut dicatat, peristiwa penting terkait dengan kehidupan fiksi di Kompasiana adalah ada pernyataan tag fiksi Kompasiana adalah “keranjang sampah” yang dilontarkan oleh Astree Hawa pada akhir tahun 2010. Pernyataan yang menimbulkan kontroversi. Dampak positifnya, gairah berkarya semakin tinggi, dan bermuncullanlah komunitas-komunitas penggemar fiksi, melengkapi komunitas Kampung Fiksi yang sebelumnya sudah ada. Sebutlah Komunitas Desa Rangkat, yang memang terlahir akibat isu “fiksi sampah” tersebut.  Menyusul kemudian, para fiksianer berhimpun dalam “Fiksiana Community”. Terobosan luar biasa yang dilakukan oleh  para fiksianer untuk menghidupkan kembali dongeng-dongeng anak yang mana kemudian terbentuk komunitas dongeng nusantara. Oh, ya ada pula komunitas Planet Kenthir dengan kisah-kisah humornya yang kadang memang harus disikapi secara dewasa dan bijaksana..

Kehebohan terjadi lagi walau tidak terlalu berkepanjangan tatkala ada pernyataan dari Johan Wahyudi dalam postingannya berjudul “Jangan kau Bohongi Kompasianer”  di mana ia menyatakan “Maka, aku memang kurang menyukai tulisan fiksi.Meskipun kadang fiksi berisi pengalaman hidup, kebenaran fiksi adalah kebenaran fiksi. Jadi, kebenaran fiksi hanya menjadi sebatas kenikmatan fiktif. Selainnya, itu tidak boleh dibenarkan.” Beruntung setelahnya Johan Wahyudi terlibat pula dalam perhelatan Malam Prosa Kolaborasi bergandengan tangan dengan Fitri Y. yeye.

Terakhir, yang sempat saya cermati adalah isu “Sastra Instan” yang dilontarkan oleh Hilda Rumambi yang juga membuat panas dunia fiksi di Kompasiana. Puluhan postingan terlahir yang bersifat pro-kontra, dan juga yang berusaha menjadi penengah.

Hal menarik, gairah para fiksianer dalam menggelar berbagai event penulisan fiksi, mampu menarik para kompasianer lain yang awalnya tidak pernah bersentuhan dengan fiksi, untuk turut terlibat. Diantaranya bahkan kemudian keasyikan memasuki dunia fiksi kompasiana.

Sebagaimana pernah saya tulis saat menanggapi isu “sastra instan”,  bila ingin dikelompokkan, ada tiga kategori penulis dalam kanal fiksi ini, yaitu:

1)Para penulis yang telah dikenal atau diakui sebagai sastrawan

2)Para penulis yang meniatkan dirinya belajar untuk menjadi penulis karya sastra

3)Para penulis yang menumpahkan ekspresi melalui karya fiksi

Kelompok kedua dan ketiga, tentulah jumlahnya yang paling besar.  Intensitas pergaulan sesama penggemar fiksi, untuk saling menyemangati dan saling memuji, memang jika lengah dapat melenakan dan membuat kita tidak berkembang. Tapi saya percaya, banyak pula yang justru berharap mendapatkan kritikan tajam, sehingga menemukan kelemahan dan tertantang untuk belajar lebih baik lagi.

Jika ada pemerhati fiksi Kompasiana yang senantiasa memberikan apresiasi terhadap karya-karya di kanal Fiksi ini, dapatlah disebut Kang Insan. Jika kita ingin mengapresiasi para penggerak fiksi, dapatlah disebut diantaranya Mommy dan Yayok yang menginisiasi terbentuknya Desa Rangkat, Langit Queen, Granito dan Erry Subakti yang menghidupkan Fiksiana Community, Zulfikar Akbar yang menginisiasi terbetuknya Komunitas Sastra, Engkong Ragile yang menyalahkan api humor di Planet Kenthir, Valentino dengan Cengengesan Family-nya.

Jika buku menjadi sebuah patokan penghargaan terhadap seorang penulis, maka berbagai komunitas fiksi yang aktif membuat perhelatan fiksi, aktif pula menerbitkan buku-buku yang merupakan himpunan karya terseleksi dari event yang digelar. Fiksiana Community dan Desa Rangkat dapat dikatakan sebagai komunitas yang aktif untuk hal ini.

Terbitlah buku-buku karya para fiksianer yang terkait dengan event yang diselenggarakan. Sebagai misal Desa Rangkat menerbitkan buku:  “Untaian Aksara Maya Terjalin Nyata” dan  “Kisah Asah Asih Asuh” (2012)

Lalu Fiksiana Community dengan buku-bukunya: “Malam Prosa Kolaborasi” (2011), “Mirror” kumpulan cerita mini horor,   “Fiksi Surat Cinta”, “Fiksi hari Pahlawan”, “Hantu Siul” dan “Alien Terakhir” yang diseleksi berdasarkan event Festival Fiksi Anak dan diterbitkan bekerjasama dengan DAR! Mizan. Dan masih ada beberapa karya bersama yang dibukukan. ,

Pengamatan umum saja, saya juga melihat bahwa  para fiksianer terlihat perkembangannya yang pesat dalam berkarya. Mereka memiliki keberanian untuk membukukan karya-karyanya yang terposting di Kompasiana,  memasuki dan menghiasi ruang fiksi di media mainstream.  Sebut saja diantaranya tanpa mengabaikan kompasianer yang lain: Katedra Rajawen yang dikenal sebagai Kompasianer teraktif yang menerbitkan novel karya kolaborasinya bersama Fitri Yenti berjudul “Satu Cinta Dua Agama” (April 2013).  Fitri Yenti juga baru menerbitkan novelnya “ Rahasia Hati” (2015). Selsa dalam kumpulan puisinya “empatpuluh dua  Jejak” (2013). Bunga Ilalang (Rinzhara Gee) dalam novelnya “Air Mata Diantara Ilalang”, Edy Priyatna dengan tiga buku kumpulan puisinya, “Gempa”,  “Singgah ke Desa Rangkat”  dan “Buku Pertama di Desa Rangkat”.

Kitapun dapat  berharap pada fiksianer Fandi Sido, Rahab Ganendra,  Selsa, Fitri Yenti, Armin Bell, DP Anggi, Tasch Taufan, Jansori Andesta, Dewi Pagi, Conni Aruan, Bowo Bagus, Gunawan Wibisono, dan kawan-kawan lain yang masih setia berbagi karya fiksi, untuk terus menghidupkan semangat para fiksianer dengan kualitas yang tetus meningkat. Terselip pula kerinduan kepada Asih Suwarsi dan Roni Sundanicus yang karya fiksinya menarik, tapi tampaknya jarang terlihat lagi. Juga kepada fiksianer seperti Endah Raharjo, G,  Winda, atau yang nyleneh dengan karya unkonvensionalnya, Martin Siregar.

Hal menarik,  sejak tahun 2013, anugrah tahunan Kompasiananer of The Year mulai memasukkan  kategori Fiksianer terbaik, yang pada saat itu diberikan kepada Fandi Sido dan tahun berikutnya di 2014 terpilih Rahab Ganendra.

Selain itu, pergantian karya fiksi di tempat terhormat yakni Headline juga berlangsung dinamis. Di akhir tahun 2014 dan awal tahun 2015, admin kompasiana memberikan apresiasi kepada para kompasianer di berbagai rubrik dengan memposting 14 tulisan terpopuler. Pada fiksi dapat dijumpai postingan sang admin: “14 Puisi Terpopuler 2014” (30 Desember 2014) dan “14 fiksi non Puisi Terpopuler 2014” (4 Januari 2015). Tentu ini dapat menjadi penyemangat bagi para fiksianer.

Ditengah keriuhan isu-isu yang pernah bermunculan (dan barangkali akan kembali terulang),  karya-karya fiksi terus hadir tiada henti, kendati berdasarkan pengamatan sepintas minim pembaca. Tapi, percayalah, semua pastilah akan bermakna.

Salam

Catatan sebelumnya tentang dinamika di Kompasiana:

Salam dan Sapa Kompasianer

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun