Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Perempuan-perempuan Pembebas" Komunitas Steja Yogyakarta

25 Juli 2019   16:27 Diperbarui: 25 Juli 2019   16:34 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Luwi Darto S.sn., salah satu dari sutradara perempuan yang dimiliki Yogyakarta, dapat dikatakan sangat produktif. Di tahun 2019 ini saja, dapat disebut ia telah menyutradarai "Gogrok" karya Indra Tranggono yang diproduksi oleh Teater Muara di bulan April. Pada bulan Mei, pagelaran "Ronggolawe Makar" untuk memperingati sanggar tertua di Yogyakarta, yakni Sanggarbambu,  dinilai unik karena disutradarai oleh lima orang, Luwi Darto terlibat sebagai salah satu sutradaranya.Pertengahan Juli, kembali ia hadir bersama Teater Muara menyutradarai lakon sandiwara berbahasa Jawa "Ora Kacek" di Panggung pasar kangen.

Kini, ia kembali menyutradarai "Perempuan-Perempuan Pembebas" karya Indra Tranggono yang akan digelar besok (26 Juli) di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta, pukul 20.00. Lakon yang dipentaskan Komunitas Sinergi Teater Jogja (STEJA) merupakan hasil kerjasama antara Dinas Kebudayaan DIY, Taman Budaya Yogyakarta dan Sanggar Putri Sigrak. Pementasan berdurasi sekitar 90 menit ini terbuka untuk umum dan tidak dipungut biaya tiket atau gratis.

"Mengambil gaya monolog dan dialog, lakon ini digarap secara teaterikal, dengan basis realisme," ujar Luwi Darto. Dijelaskan Luwi, pementasan ini memadukan bentuk realis dan non realis, demi menciptakan peristiwa dramatik. "Setiap adegan memiliki puncak dramatik. Puncak-pucak itu dianyam oleh persoalan dan alur hingga membentuk struktur dramatik."

"Kami hidup dalam kedamaian. Saling menganyam rasa senasib sependeritaan. Kami hanya meyakini, bahwa Tuhan menciptakan semua makhluk atas dasar cinta. Dan cinta itu yang membebaskan manusia dari segala bentuk penguasaan yang meringkus dan menindas...", demikian penggalan dialog dari lakon tersebut.

"Perempuan-Perempuan Pembebas" mengisahkan tentang lima 5 perempuan Nai yang menjadi korban ketidakadilan kekuasaan. DELLA, aktivis politik yang berobsesi dan berjuang untuk mengubah sistem negara, dianggap makar dan ditangkap. Sementara sementara patron-patron politik kabur keluar negeri. Ada tokoh SELLY yang didakwa membunuh seorang hakim yang memperkosanya, demi membela kehormatan, ia menghabisi hakim senior. 

Muncul GEZA perempuan payuh baya, iatri dari seorang aktivis kiri yang setia pada suami dan memperjuangkan ide-idenya. Disusul TRISKA perempuan dengan kemampuan paranormal harus masuk penjara karena mampu membongkar berbagai kasus korupsi dengan ilmu penerawangannya. Juga ada CITRA perempuan muda mantan aparatur negara yang didakwa menyebar hoax ketika mengupload foto beberapa pejabat korup. Cita-cita dari kelima perempuan itu adalah membebaskan diri kabur dari penjara

Indra Tranggono, sang pengarang naskah dan dalam pementasan ini berperan sebagai supervisor, mengatakan pementasan ini bisa dimaknai dalam tiga perspektif. Pertama, secara tematik bicara tentang posisi perempuan yang menjadi korban dari praktik nilai-nilai  yang didominasi laki-laki (yang mewujud dalam sistem, struktur dan kekuasaan).

Kedua, dorongan untuk semakin eksis-nya para perempuan teaterawan baik sebagai sutradara, aktor maupun peran-peran lainnya di bidang artistik dan produksi. "Seperti kita tahu teater Indonesia adalah teater yang didominasi laki-laki" tutur Indra.

Ketiga, meletakkan kekuatan daya kreatif di atas dominasi kuasa modal. Seiring menguatnya ekonomi neo-liberal, kehidupan berbeaya tinggi berdampak serius pada budaya, termasuk teater. Pertimbangan ongkos produksi tinggi, cenderung menjadikan masyarakat   gagap berteater. Ini bisa di atasi antara lain dengan kekuatan ide dan kreativitas yang mampu menekan dana.

Repertoar ini didukung para teaterawan DIY lintas generasi, era 1980-an- 2000-an. Mereka adalah Khocil Birawa, Seteng Agus Yuniawan, Nunung Rieta, Luwi Darto, Sukaptiran, Joanna Dyah, Elyandra Widharta, Chandra Nilasari, Estri Mega dan Gea Mitha. Musik digarap Y Arief Susilo, Guntur Nur Puspito, dan Daniel Soka. Tata cahaya (Lintang Radittya). Koreografer (Gita Gilang).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun