Saya bukan orang yang rutin mendatangi festival literasi. Tapi ada sesuatu dari Jogja Art + Books Fest 2025 (JAB Fest 2025) yang membuat saya ingin datang. Mungkin karena lokasinya di The Ratan, tempat yang sudah lama ingin saya kunjungi, atau mungkin karena temanya yang menyebut nama Kuntowijoyo seorang sastrawan besar yang karya-karyanya pernah menemani masa-masa pencarian saya sebagai pembaca.
Tapi sore itu, saya tak hanya disuguhi buku dan puisi. Saya juga disambut oleh lantunan suara dari band yang sudah lama saya kagumi, Efek Rumah Kaca.
Saya masih ingat jelas suasana pembukaannya. Matahari mulai turun perlahan, cahayanya temaram menyinari ruang terbuka di The Ratan. Orang-orang berdatangan dengan wajah penuh antusias. Tapi suasananya tidak gaduh. Justru ada kesan hangat dan akrab yang jarang saya temui di festival kebudayaan lainnya.
Saat panggung sesi "The Sounds of Poetry" dibuka, dan Efek Rumah Kaca naik ke atas panggung, saya bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Ini bukan konser biasa. Tidak ada teriakan liar atau loncatan massa. Hanya gelombang kecil ketenangan, seperti ombak yang mendekati pantai dengan pelan, tapi pasti.
Cholil dan kawan-kawan memulai set mereka dengan gaya khas yang penuh kesadaran. Setiap lagu mereka malam itu terasa menyatu dengan atmosfer JAB Fest penuh makna, puitis, dan menyentuh lapisan-lapisan dalam dari apa yang disebut sebagai "rasa menjadi manusia".
Dan entah kenapa, penampilan Efek Rumah Kaca malam itu terasa seperti perpanjangan dari semangat Kuntowijoyo sendiri. Kedua entitas ini, meski datang dari medium yang berbeda sastra dan musik bertemu dalam satu semangat mempertanyakan, merasakan, dan memahami zaman. Saya tidak bisa membayangkan pembuka JAB Fest yang lebih relevan dari ini.
Yang membuat momen ini lebih istimewa adalah bagaimana Efek Rumah Kaca tidak tampil sendiri. Di panggung yang sama, penyair Saut Situmorang membacakan puisi dengan lantang dan tajam. Lalu hadir pula Fajar Merah, yang membawa energi muda dan keberanian dari garis keturunan Wiji Thukul. Rasanya seperti menghadiri sebuah orkestra kesadaran sosial, yang tiap elemennya punya suara, tapi harmonis dalam menyampaikan pesan.
Sebagai seseorang yang berada langsung di lokasi, saya merasa bersyukur bisa menyaksikan semua ini. JAB Fest tidak hanya merayakan buku, tetapi juga memperluas definisi literasi. Bahwa musik, puisi, lirik lagu, dan bahkan keheningan di antara penampilan adalah bagian dari pengalaman literasi yang nyata.
The Ratan sendiri memberikan kontribusi besar dalam menciptakan suasana ini. Tempatnya terbuka, alami, dan tidak pretensius. Bahkan saat langit mulai gelap, lampu-lampu kecil yang digantungkan seadanya justru menambah keintiman suasana.
Saya pulang malam itu dengan hati yang penuh. Bukan hanya karena telah menyaksikan band favorit tampil di tempat yang tidak biasa, tapi juga karena malam itu mengingatkan saya bahwa seni dan literasi bukan sesuatu yang terpisah. Mereka bisa hadir bersama, saling menguatkan, dan menyentuh jiwa kita dengan cara yang tak selalu bisa dijelaskan dengan logika.