Hari-hari berikutnya aku bisa menerimanya. Sama seperti teman-teman hewanku yang lain, atau seperti pohon-pohon yang kerap menari saat aku menyanyikan senandung jolo. Ia berbicara banyak hal, untuk dunia yang tak pernah aku lihat.
Katanya, di balik gunung ini ada peradaban manusia. Makhluk dengan jenis yang sama seperti aku dan dirinya.
Dengan berbagai rupa, kecil, tua, remaja, dewasa dengan peralatan hidup dan teknologi yang takkan kutemukan di atas gunung ini. Aku tak begitu tertarik dengan cerita itu. Namun apa yang dilakukannya padaku malam tadi membuatku tak bisa berpisah dengannya.Â
Kalian bisa membayangkan bagian ini seperti film Maleficient atau tarzan versi perempuan. Aku tak terlalu peduli. Tapi satu hal yang yang harus kalian tau, aku tak pernah mengikuti lelaki itu menuju peradaban maju seperti yang ia ceritakan. Ia pergi tak lama setelah aku menyadari bahwa aku tengah mengandung anaknya.Â
Aku memberikan kebebasan padanya. Bukankah kebebasan adalah nafas hidup. Aku juga tak ingin menjadi perempuan yang merengek menahannya di sini, semua tidak akan lebih baik pikirku. Di atas gunung ini aku menikmati perkembangan perutku yang terus membuncit, berat dan terkadang menendang-nendang geli.
Lagi, angin kebebasan seperti hendak menyambut anakku sama seperti kelahiranku dulu. Bedanya kali ini bayi itu akan lahir dari rahim perempuan penghuni gunung, bukan kelopak mawar dan kumbang sebagai ibu bapaknya.Â
Tapi hidup adalah sekumpulan perjuangan, bisa saja sampai pada titik keberhasilan bisa juga sebaliknya. Aku tak benar-benar melahirkan bayi yang dititipkan oleh laki-laki bernama Heru itu. Saat aku mengerang kesakitan, bayi itu perlahan berubah menjadi darah kental yang anyir. Keluar bergumpal-gumpal diantara kedua pahaku.Â
Adegan itu berlangsung hingga berjam-jam. Hingga aku sadar, ada yang tidak menginginkan kelahiran bayi itu. Aku mencak-mencak kegeraman. Kupukul-pukul perutku, hingga tanpa sadar aku mematahkan kakiku. Tidak...tidak... tidak benar-benar patah, ia hanya menjadi lebih pendek dengan tumit yang berubah kedepan.Â
Ya memang, orang-orang di balik gunung ini mengenal tempat tinggalku sebagai tempat jin buang anak atau tempatnya uhang pandak. Aku masih menjalankan keseharianku saat cerita ini ditulis, lihat! kenari itu hinggap lagi. Berapa banyak lagiorang yang akan berkunjung kemari?