Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Music

Siapa Bilang Aceh Tak Punya Band Cadas?

2 September 2021   19:00 Diperbarui: 2 September 2021   19:03 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampilan sekilas Kota Banda Aceh. Sumber: instagram.com/kotabandaatjeh

Untungnya, lagu "Kebebesan" sempat terselesaikan. Yapi (gitaris Cakradonya) juga menyebutkan, "sebenarnya telah ada 2 bahan album yang siap untuk direkam sekarang ini. Tapi kesempatan itu sampai sekarang belum terbuka kepada mereka."

Tanah ini penuh cerita, termasuk salah satu tanah para pejuang yang tak pernah merelakan begitu saja negerinya dijajah oleh Belanda dan Jepang di masa penjajahan. Dan semangat memperjuangkan cita masih menyala sampai sekarang. Ada banyak band yang membara di Aceh, tak hanya Killa The Phia, Cakradonya juga salah satunya, yang memegang mimpi itu erat-erat di tangan mereka. Dila, sang vokalis mengatakan, mereka siap all in di jalan ini. Dan saya terpukau dengan kata-kata itu. Mereka membara.

Perbincangan saya dengan Cakradonya di salah satu warkop di Aceh malam itu, membuahkan sebuah kesimpulan: darah rockstar mengalir di dalam mereka. Selain karena membicarakan dan menyentil ranah sosial di lagunya, yang mana hal itu dulunya adalah cara untuk menjaritengahkan para penguasa atau si pencipta aturan oleh band-band rock, terutama punk. Tetapi ini juga tentang passion. 

Bertahun-tahun yang jauh dari masa sekarang, sebuah band memerlukan kepercayaan yang besar terhadap ambisi mereka agar lagu-lagunya dapat dinikmati orang banyak. Hebatnya lagi, bila berhasil menciptakan pasar sendiri. Begini, malam itu saya sempat bertanya, "apa yang Cakradonya cari?" Lalu, selepas menghisap satu tarikan ringan kreteknya, gitaris sekaligus front man (bukan vokalis), Yafi Maulana yang biasa dipanggil Yapi, berkata dengan cukup tulus, "musik, ini semua tentang menciptakan musik. Kami senang bermusik, itu hobi kami. Tapi tentunya, kami bertambah senang dan percaya diri bila orang-orang menggemari musik-musik kami."

Passion atau ambisi menurut saya seperti granat yang dapat meledak dan membunuh sewaktu-waktu. Tapi juga seperti kembang api tahun baru, yang membuat orang-orang menjadi lebih baik tiap tahunnya. Band-band yang terkenal sekarang, kebanyakan bermula dari bukan siapa-siapa. Banyak hal dipertaruhkan, waktu, uang, siap untuk dibenci, direndahkan, bahkan bisa diusir dari rumah sendiri demi sebuah ambisi.

Apakah pantas dibayar dengan itu semua? Entahlah, tentukan sendiri. Tetapi bagi saya, setelah memilih lalu menyerah adalah pecundang. Menyerah di situ maknanya berhenti untuk selamanya, dan tak pernah kembali. Harus diakui, butuh keberanian dan pengorbanan yang besar untuk menjadi seorang musisi, dan hal itu patut dihormati. 

Terlebih di Aceh. Di mana dulunya, menjadi sebuah band nasional hanyalah angan-angan. Cita-cita yang bisa dianalogikan seperti kentut, yang keluar lantas dihindari setelah mencium baunya busuk sekali. Tetapi Killa The Phia berhasil mematahkan kutukan itu dengan memilih mencium aromanya dalam-dalam. Analogi yang konyol, tapi masuk akal.

Formasi Cakradonya 2018. Sumber: instagram.com/cakradonyarocks
Formasi Cakradonya 2018. Sumber: instagram.com/cakradonyarocks
Untuk Cakradonya, saya mengharapkan sesuatu yang lebih segar ketimbang ini. Secara lirik sudah bagus, kena di paku yang tertancap, dan sangat dalam. Tetapi seperti yang saya bilang tadi, masa sekarang adalah masa yang penuh dengan kekelaman. Mungkin bila lagu ini dirilis di awal-awal pandemi akan berdampak cukup besar terhadap masyarakat. Sekarang, orang-orang sudah lelah memikirkan itu, yang terpenting bagi mereka sekarang adalah bagaimana perut-perut rumah terisi.

Oleh karena itu, saya tidak siap apabila album mereka yang belum tahu kapan dirilis itu juga bernuansa se-emosional ini, bukan karena musik dan lirik yang buruk, keduanya sudah cukup baik, hanya saja waktu yang kurang tepat. Saya sudah cukup tersiksa dengan kesedihan sepanjang 2020 hingga sekarang, dan saya merasa orang-orang juga ada yang mengalami hal yang serupa. Mungkin musik-musik yang memancarkan aura kebahagiaan sangat membantu. Bukan dari segi lirik, tapi musik.

Tapi kembali lagi, mereka menciptakan musik yang mereka inginkan. Pasar tetap akan ada buat mereka, tak ada pasar yang mati. Tapi ada satu pertanyaan saya sebelum menutup tulisan ini yang mana saya tak berharap mereka menjawabnya dengan kata-kata, melainkan aksi:

Sedari paparan akan Aceh yang tak punya kolam yang besar untuk musik cadas, apakah mereka akan terus kuat berjalan di jalan itu?

Saya menantikan jawabannya, Cakradonya. Di tahun 2025, saya mengharapkan nama itu diteriakkan oleh orang-orang pada sebuah festival.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun