Cilegon, Kompas.com -- Kisah pilu dirasakan oleh Mohammad Ridwan alias Kewer (45), terpidana kasus narkoba yang kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Cilegon. Ridwan dijatuhi vonis 3 tahun penjara atas tuduhan sebagai pengedar sabu. Namun, sejak Januari 2025 lalu, ia ditempatkan di sel maksimal (maximum security) setelah kedapatan memiliki telepon genggam saat razia rutin.
Kondisi ini bukan hanya memengaruhi Ridwan, tetapi juga keluarganya. Istri Ridwan, sebut saja Bunga (nama samaran), mengaku sangat terpukul. "Sejak Januari hingga sekarang (September), saya tidak bisa bertemu suami saya. Rasanya seperti terputus komunikasi sama sekali," kata Bunga dengan suara lirih saat ditemui di sekitar Lapas Cilegon.
Sorotan dari Perspektif Hukum dan HAM
Penggiat Hak Asasi Manusia (HAM), Anis Hidayah, menilai langkah penempatan seorang narapidana ke sel maksimal perlu dikaji ulang dari aspek legalitas dan kemanusiaan.
"Memang benar, aturan melarang peredaran dan kepemilikan ponsel di dalam lapas. Namun, penempatan ke sel maksimal yang berbulan-bulan tanpa akses bertemu keluarga berpotensi melanggar hak dasar narapidana, yakni hak untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan keluarganya," tegas Anis Hidayah.Â
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, tujuan utama pemidanaan bukan hanya memberikan efek jera, tetapi juga pembinaan agar narapidana dapat kembali ke masyarakat dengan lebih baik. "Jika seseorang terlalu lama diisolasi, justru pembinaan tidak berjalan, dan potensi pelanggaran HAM bisa terjadi," tambahnya.
Potensi Pelanggaran Prosedur
Dalam praktiknya, penempatannarapidana di sel maksimal biasanya bersifat sementara, misalnya untuk kepentingan keamanan atau penegakan disiplin. Namun, isolasi berkepanjangan hingga berbulan-bulan menimbulkan pertanyaan tentang transparansi prosedur dan pengawasan internal lapas.
"Kalau sudah masuk bulan ke-8 tanpa kunjungan keluarga, ini patut dipertanyakan. Apakah ada mekanisme evaluasi dari pihak Kanwil Kemenkumham Banten? Apakah sudah sesuai standar yang diatur Permenkumham?" kritik Anis Hidayah
Jeritan Sunyi Keluarga