Ada suasana hangat ketika saya mengikuti acara Aspirasi Pendidikan Bermutu bersama Kemendikdasmen di Yogyakarta. Sore itu, ruang pertemuan yang penuh peserta mendadak hening ketika Syarifah Rahma, seorang violist cilik dari Yogyakarta, menggesek biolanya. Jemarinya yang mungil mengalunkan nada-nada indah, seolah berpesan: inilah potret talenta Indonesia yang perlu dirawat, diberi ruang, dan dihargai lewat pendidikan yang bermutu.
Acara ini menghadirkan Bapak Ma'ruf, staf khusus Kemendikdasmen bidang komunikasi dan media, yang memaparkan program-program penting Kemendikdasmen. Dari pemaparannya, saya semakin yakin bahwa pendidikan bermutu bukan hanya soal buku pelajaran, ujian, atau seragam sekolah. Ia adalah ekosistem yang menumbuhkan karakter, menggali bakat, meningkatkan kualitas guru, dan membuka akses pendidikan bagi semua.
Salah satu hal yang ditekankan adalah penguatan pendidikan karakter. Fenomena yang terjadi di sekitar kita memang nyata: anak-anak lebih sibuk dengan gawai ketimbang bergerak bebas di luar. Itulah mengapa senam, upacara bendera, hingga kegiatan mengawali pagi dengan doa atau aktivitas positif menjadi penting.
Ada juga program MBG (Makan Bergizi), karena pendidikan karakter tidak akan maksimal tanpa tubuh yang sehat. Saya pribadi melihat langkah ini sederhana tapi bermakna. Pendidikan sejati dimulai dari tubuh yang bugar, jiwa yang tenang, dan kebiasaan kecil yang konsisten.
Tak kalah menarik adalah fokus pada pengembangan talenta dan prestasi. Pendidikan bermutu, kata Bapak Ma'ruf, harus mendorong anak untuk memahami secara mendalam, bukan hanya menghafal.
Contohnya sederhana: saat mengenalkan lampu lalu lintas, jangan hanya berhenti pada "merah berhenti, kuning hati-hati, hijau jalan". Anak-anak juga diajak memahami bagaimana sistem lampu itu bisa menyala bergantian. Ada logika, ada proses, ada rasa ingin tahu yang ditumbuhkan.
Selain itu, ada Gerakan Numerasi Nasional, pengenalan coding dan AI, hingga deep learning. Bayangkan jika anak-anak sejak dini terbiasa dengan pola pikir kritis, logis, dan kreatif. Indonesia tak hanya menjadi pengguna teknologi, tapi juga pencipta inovasi.
Dan sore itu, biola Syarifah menjadi bukti: talenta hanya tumbuh bila diberi panggung. Pendidikan bermutu harus menjadi panggung itu.
Tidak mungkin bicara pendidikan tanpa bicara guru. Karena itu, peningkatan kualifikasi, kompetensi, dan kesejahteraan guru menjadi fokus lain. Mulai dari BSU, peningkatan kemampuan numerasi, hingga pelatihan coding, AI, dan konseling yang dikhususkan untuk guru.
Yang menarik adalah perubahan peran guru BK. Kalau dulu identik dengan pemberi hukuman, kini diarahkan menjadi safe place: ruang aman bagi siswa untuk bercerita, berbagi keresahan, dan mencari solusi. Saya merasa ini adalah lompatan besar. Pendidikan bermutu bukan sekadar mendidik otak, tapi juga mendengar hati.