Film apa yang membuat kamu tobat? Wah wahh, tema hari ini sungguh wadidaw banget. Sepertinya, mimin Kompasiana habis nonton "Siksa Kubur"-nya Joko Anwar di press screening kali ya Sayangnya, "Siksa Kubur" baru dirilis pas Lebaran tahun ini, jadi saya belum nonton filmnya full. Baru pantengin trailer-nya di YouTube, dan wow... gokil sih memang, ide ceritanya anti-mainstream, pasti ini bukan film horror ecek-ecek. Standar tinggi khas Joko Anwar banget! Plus, "Bila Waktu t'lah Berakhir"-nya Opick yang terdengar begitu menyayat, hadir sebagai OST (Original Soundtrack) film ini, double kill banget!
Yah tapiii, karena saya belum nonton "Siksa Kubur", ya sudahlah, kita cari film lain saja ya, yang memberikan after taste "Duh, dosaku buanyaaakk ya ternyata. Kira-kira nanti di akherat aku bisa masuk surga apa ndak ya?" Dan ternyata, untuk bisa tobat, kita nggak melulu kudu nonton film penuh adegan gore, semacam penyiksaan di alam kubur, alam barzah dan sebangsanya gitu, kok. Saya malah menahbiskan satu film slow pace ini sebagai "Film yang Bisa Meningkatkan Iman dan Bikin Tobat".
Judulnya "Emak Ingin Naik Haji." Masya Allah, nih film manisss sekaligus "mengiris-iris" kalbu banget. Diangkat dari cerpen berjudul serupa karya Asma Nadia, hati rasanya ketampol bolak-balik dah. Aktor utamanya Reza Rahadian, yang  melakoni perannya dengan amat effortless, dan Ati Kanser Perempuan berwajah dan tutur kata teduh, yang jadi sang emak. Chemistry para cast sungguh luar biasa. Pastilah makin ciamik lantaran jajaran sutradara, penulis skenario, dan seluruh kru yang amat paripurna!
Di film ini, Zein (Reza Rahadian) diceritakan adalah sosok seorang penjual lukisan pinggir jalan, yang super duper sayang dengan emaknya. Interaksi emak-anak ini beneran membetot atensi. Tipikal slice of life movie, nampak sederhana bersahaja, tapi memberikan 'after effect' yang jleebbb banget!Â
Sesuai dengan judulnya, sosok Emak di film ini amat mendambakan bisa ibadah ke Baitullah. Ada gambar Kabah yang menghiasi tembok rumahnya. Setiap saat setiap waktu, Emak menggumamkan doa, agar bisa menggapai mimpi, melantunkan "Labbaik Allahumma Labbaik" di Masjidil Haram. Rindu bertalu-talu dan doa senantiasa ia pancangkan. Kalau hanya dinilai dari human's math tampak mustahil, ya?Â
Melihat cita-cita mulia sang Emak yang begitu ingin berangkat Haji, sungguh menerbitkan kegalauan maksimal di hati Zein. Ia sangat ingin berkontribusi memberangkatkan "center of universe"-nya ini berhaji. Sayangnya, kondisi finansial Zein terbilang pas-pasan. Ia duda cerai, udah gitu mantan istrinya hobi banget merongrong minta duit melulu.
Tapi, mimpi Emak tak pernah surut. Terlebih lagi, Emak dan Zein bertetangga dengan Haji Saun, keluarga pengusaha besi tua dan jual beli kapal. Keluarga tajir melintir nan baik hati, yang saban tahun naik haji. Jadi makin mupeng untuk naik haji juga kan?
Konflik dan ironi bertebaran dengan rapi, mulai dari sisi kontras dengan tetangganya maupun dengan pejabat yang naik haji hanya mengejar "titel haji" semata. Film ini digarap "dengan hati", karena itulah... pesannya nyampai "ke hati". Nggak perlu adegan azab kubur, siksa neraka jahanam, dan scene barbar lainnya; justru film ini berhasil membuat saya larut dalam "aura magis" tanpa umpama. Ya Allah.... merinding bangeettt. Betapa kuat kerinduan untuk beribadah ke Baitullah. Betapa lembut hati Emak, hati Zein dan para tokoh yang ada di film ini.
Hubungan antara anak dan ortu (terutama ibu) bisa dibilang cukup complicated. Love and hate relationship hampir selalu terjadi dalam interaksi ini. Pemicunya banyak, mulai dari pola pikir (point of view) yang berbeda jauh, generation gap, juga personality yang berlainan. Konflik kerap tak terhindarkan. Ortu melabeli anak durhaka, sementara anak menuding ortu sebagai toxic parents. Lengkap sudah.
Usai menyaksikan film ini, seolah ada rentetan "film dokumenter nurul rahma" yang kerap berseteru dengan ibu kandungnya. Yap, I really love my mom, tapiiii yah itu tadi.... lebih tepatnya  love and hate relationship, sebagaimana yang saya jabarkan di paragraf sebelumnya. Saya dan Ibu kerap berdebat, bahkan untuk hal-hal sepele, misal: Mau ngajak Sidqi (anakku) ke supermarket atau ngaji ke Masjid. Perkara kecil kayak gini aja, udah jadi bahan sengketa yang tak kunjung usai.
Zaman aku remaja? Oh, jangan ditanya. Entah berapa kali kami harus saling bengkerengan (istilah Jawa yang menggambarkan saling adu kuat dalam berdebat). Apalagi, kalo ada teman cowok yang saya ajak main ke rumah, bidiihh, itu saling sengkarut nggak karuan! Betapa seringnya saya berulah, memainkan lidah tak bertulang, yang ujung-ujungnya membuat konflik kembali terulang.
Padahal, kita tak pernah tahu, berapa lama sih, kuota kebersamaan dengan Ibunda? Kita bertambah besar, Ibunda pun makin masuk usia senja. Terus berseteru, menyodorkan emosi yang lepas kendali.... sampai kapan mau begitu?
Kalau boleh memutar waktu, sungguh... saya ingin banget kembali ke era sebelum tahun 2016. Ingin rasanya menebus semua kesalahan, celotehan, atau apapun itu, yang boleh jadi bikin Ibuku sakit hati. Sekarang dunia tak lagi sama. Saya cuma bisa memandangi foto-foto Ibu... dan sesekali berkunjung ke peristirahatan abadinya. Hanya sanggup melangitkan doa, semoga Ibu terus dinaungi oleh kasih sayang oleh-Nya. Hanya bisa berharap, anak yang nggak sholehah-sholehah amat ini, bisa menjadi asbab pahala amal ibadah Ibu yang terus mengalir, kendati Ibu sudah berkalang tanah.
Minimal sekali seumur hidup, tontonlah "Emak Ingin Naik Haji". Sebuah mahakarya, yang bermanfaat sebagai tontonan, sekaligus tuntunan. Film yang melembutkan jiwa. Mengasah nurani dan empati. Menumbuhkan rasa kasih kepada sosok perempuan, yang mana "surga kita ada di telapak kakinya." (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H