Bagi sebagian orang, Malioboro adalah tempat wisata yang ramai, penuh dengan toko, pedagang, dan lampu-lampu malam yang memanjakan mata. Namun bagi Pak Biyanto, kawasan itu adalah tempatnya menggantungkan harapan selama puluhan tahun. Sejak tahun 1989 (35 tahun) ia menarik becak di sepanjang jalan Malioboro, Yogyakarta, untuk mencari nafkah demi menghidupi keluarganya.
Kini usianya 68 tahun. Tubuhnya tidak sekuat dulu, tapi semangatnya belum surut. Setiap hari ia tetap datang ke kawasan Malioboro dengan becak yang setia menemaninya sejak lama. Sekali mendapat penumpang, ia bisa memperoleh sekitar Rp.20.000,00. Tidak selalu ada yang mau naik becak, apalagi sekarang. Tapi ia tetap datang, menawarkan jasanya dengan sopan.
"Saya biasanya tanya baik-baik mau kemana. Kalau mau saya antar, kalau nggak ya tidak masalah," ujarnya sambil merapikan jok becaknya.
Pak Biyanto bukan berasal dari keluarga berada. Dulu, sebelum menjadi tukang becak, ia sempat menjadi pelayan toko. Tapi upah bulanan yang ia terima sangat kecil, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, apalagi untuk biaya makan, sekolah anak, dan kebutuhan sehari-hari. Ia mencoba bertahan beberapa waktu, mencoba mengatur keuangan sebaik mungkin. Namun karena kebutuhan yang terus meningkat dan tidak bisa ditunda, ia akhirnya memutuskan untuk mengambil Keputusan lain. Ia memilih menjadi tukang becak, pekerjaan yang tidak membutuhkan modal besar dan bisa langsung membawa uang tunai setiap harinya, meskipun jumlahnya tidak menentu.
"Satu kali narik dapat 20 ribu. Kalau dapat dua penumpang ya lumayan. Tapi sering juga cuma sekali, atau malah nggak dapat sama sekali," katanya.
Namun ia tidak pernah mengeluh. Yang penting, menurutnya, kebutuhan dasar keluarga bisa terpenuhi. Ia tidak mengejar kemewahan, hanya ingin hidup layak dan bisa mengantar anaknya sekolah. Sikap itu membuatnya bertahan hingga menerima kenyataan hidup dengan tenang, dan tetap menjalani hari-harinya dengan sabar.
Meskipun satu tujuan hidupnya telah berhasil dicapai, tantangan belum selesai. Di Tengah perubahan zaman, pekerjaan menarik becak semakin terpinggirkan. Pak Biyanto memiliki tiga anak. Salah satu kebanggaan terbesarnya adalah berhasil menyekolahkan salah satu anak perempuannya hingga lulus kuliah dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (UIN SUKA). Itu bukan hal yang mudah bagi seorang tukang becak, tapi Pak Biyanto melakukannya tanpa menjual harta atau berhutang demi kelangsungan pendidikan anak-anak. Ia membiayai Pendidikan anaknya dari hasil menarik becak : sedikit demi sedikit, tapi konsisten. Ia rela melakukan apapun agar anak-anaknya bisa melanjutkan Pendidikan.
"Saya cuma ingin anak-anak bisa hidup lebih baik dari saya. Jangan jadi tukang becak seperti saya. Cukup saya aja," ucapnya.
Keberhasilan itu menjadi pencapaian yang sangat membanggakan. Kini, anak yang ia perjuangkan selama bertahun-tahun sudah lulus dan mulai membangun masa depan sendiri. Pak Biyanto merasa usahanya tidak sia-sia. Ia telah membuktikan bahwa kerja keras dan ketulusan bisa membawa hasil, meskipun jalan yang ditempuh tidak mudah.