Dalam hubungan antarmanusia, sering kali kita terjebak pada apa yang tampak di permukaan. Kita percaya bahwa apa yang kita lihat dan dengar adalah kebenaran mutlak. Padahal, dalam realitas human relations, persepsi adalah jembatan yang bisa membawa kita ke arah pengertian atau justru mengantar kita pada jurang kesalahpahaman.Â
Persepsi bukanlah cermin yang selalu memantulkan realitas dengan sempurna. Ia lebih menyerupai prisma, yang membelokkan cahaya berdasarkan pengalaman, nilai, budaya, bahkan suasana hati seseorang. Karena itu, dua orang bisa melihat satu kejadian yang sama, namun merasakan emosi dan menarik kesimpulan yang sangat berbeda.
Persepsi memainkan peran sentral dalam komunikasi antarpribadi, karena melalui persepsilah individu menafsirkan, memahami, dan merespons pesan yang diterima dari orang lain. Proses persepsi mencakup tiga tahap utama: seleksi, organisasi, dan interpretasi informasi, yang semuanya dipengaruhi oleh faktor pengalaman, budaya, nilai-nilai, serta emosi. Persepsi yang akurat mendukung terciptanya komunikasi yang efektif dan hubungan yang harmonis, sedangkan persepsi yang keliru dapat menjadi sumber kesalahpahaman dan konflik. (Astuty Wunawarsih et al., n.d.) Untuk itu, meningkatkan kesadaran akan proses persepsi menjadi kunci dalam membangun komunikasi antarpribadi yang sehat dan produktif.
Dalam konteks kerja sama tim, perbedaan persepsi bisa bisa menimbulkan adanya konflik. Konflik kerja adalah ketidaksepakatan yang terjadi antara individu atau kelompok di tempat kerja akibat perbedaan pendapat, kepentingan, tujuan, nilai, atau pendekatan terhadap tugas tertentu. Konflik ini bisa terjadi antara karyawan, atasan, atau kebijakan perusahaan, dan jika tidak dikelola dengan baik, dapat berdampak negatif pada perusahaan. (Nainggolan et al., 2025)
Persoalannya bukan pada fakta yang berubah, melainkan pada lensa yang kita gunakan untuk melihat fakta itu. Mengasah kesadaran akan persepsi berarti memahami bahwa setiap orang membawa "peta dunia" mereka sendiri dan peta itu tidak pernah benar-benar sama satu sama lain. Perbedaan karakter dan reaksi emosional antar individu bisa menjadi hambatan komunikasi, karena memperbesar masalah kecil dan memperkuat ego, sehingga mengganggu kelancaran komunikasi.
Dalam dunia yang makin cepat bergerak ini, kesalahpahaman berbasis persepsi semakin sering terjadi, bahkan dalam komunikasi digital. Teks tanpa intonasi, ekspresi yang hilang, serta interpretasi yang liar membuat hubungan manusia menjadi rapuh. Tanpa kehati-hatian membaca persepsi, pesan yang netral pun bisa terbaca sebagai serangan.
Maka, membangun human relations yang sehat menuntut lebih dari sekadar keterampilan teknis berkomunikasi. Dibutuhkan kerendahan hati untuk bertanya sebelum menilai. Dibutuhkan kesediaan untuk mengklarifikasi sebelum berasumsi. Dan yang paling penting, dibutuhkan keberanian untuk menerima bahwa persepsi kita pun, seakurat apa pun kelihatannya, bisa saja salah.
Pada akhirnya, memahami bahwa "bukan apa yang terlihat" adalah kebenaran sejati dalam hubungan manusia membuat kita lebih bijaksana. Kita belajar bahwa untuk benar-benar memahami orang lain, kita tidak hanya butuh mata dan telinga kita butuh hati yang terbuka.
Daftar Pustaka
Astuty Wunawarsih, I., Atikah Dewi Utami, Ms., Salahuddin, Ms., Musadar Mapasomba, H., Liliyana Sari, M., Mardi Yani, D., Desep Pria Pandri, M., Abdul Halim Momo, K., Safrudiningsih, Ms., dr Marliana Nurprilinda, Mik., Juliarni Siregar, Fisq., Ipan Dwi Nata, P., & Erni Qomariyah, H. (n.d.). KOMUNIKASI ANTARPRIBADI PENERBIT CV.EUREKA MEDIA AKSARA.
Nainggolan, H., Agustina, N., Hnadayani, L., & Syam, S. (2025). PENGARUH KOMUNIKASI INTERNAL STRES KERJA DAN KONFLIK KERJA TERHADAP KINERJA BERDASARKAN PERSEPSI KARYAWAN PT. ELNUSA PETROFIN CABANG BALIKPAPAN. JURNAL MANAJEMEN DAN BISNIS (JMB) , 25.